Kasus Penipuan Waralaba Restoran Berubah Jadi Sengketa Lahan di Lampung, Kuasa Hukum Tedy Agustiansjah Nilai Ada Kejanggalan

Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang kembali menggelar sidang lanjutan kasus wanprestasi yang melibatkan pengusaha asal Jakarta, Tedy Agustiansjah, pada Jumat (14/2/2025) siang. Sidang ini dipimpin oleh hakim ketua Firman Khadafi, didampingi oleh dua hakim anggota, Hendro Wicaksono dan Alfarobi.
Dalam sidang tersebut, pihak penggugat menghadirkan saksi ahli di bidang korporasi, Zulfi Diane Zaini, untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim.
Dalam persidangan, kuasa hukum tergugat dari PT Mitra Setia Kirana dan Andi Mulya Halim, yaitu Sujarwo, mengajukan sejumlah pertanyaan yang menekan Tedy sebagai tergugat 3. Salah satu poin yang diperdebatkan adalah kepemilikan lahan Tedy di Bandar Lampung yang menjadi objek sengketa.
Sementara itu, kuasa hukum Tedy, Natalia Rusli, mengungkapkan bahwa ia sempat bertemu dengan pengacara tergugat 1 dan 2 di Kantor DPC Peradi Bandar Lampung. Dalam pertemuan tersebut, Sujarwo, yang juga Ketua Peradi Bandar Lampung, disebut telah menerima kunjungan dari Hengki dan Titin untuk membahas kepemilikan tanah seluas 4.000 m² milik kliennya.
Natalia juga menyoroti kesaksian saksi ahli yang dianggap tidak memberikan jawaban substansial. Ia menyoroti pernyataan saksi yang menyebutkan bahwa “jika seseorang meminjam uang dari bank untuk membeli bahan bangunan namun gagal membayar, maka bank dapat menagih pihak lain yang terkait”. Menurut Natalia, pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai dasar hukum yang digunakan.
Lebih lanjut, Natalia mengungkapkan bahwa terdapat indikasi permasalahan dalam kepemilikan proyek antara PT Mitra Setia Kirana dan CV Hasta. Ia menegaskan bahwa yang bertanggung jawab dalam kasus ini adalah tergugat 1 dan 2, bukan kliennya.
"Dan apabila si penerima pekerjaan tidak membayarkan ke toko bangunan dan lain-lain, itu salah siapa? Salahnya penerima pekerjaan. Dan sebaliknya, apabila si penerima pekerjaan tidak selesaikan pekerjaannya karena si pemberi pekerjaan tidak membayar dana untuk pekerja, itu salah siapa? Dia jawab, salah si pemberi pekerjaan. Jadi di sini sudah jelas yang beri pekerjaan adalah PT Kirana ke CV Hasta. Jadi yang bermasalah tergugat 1 dan 2, tidak ada sama sekali kaitannya dengan klien kami," tuturnya.
Atas dasar dugaan adanya kejanggalan dalam sidang tersebut, Natalia Rusli mengaku tengah menelusuri latar belakang Sujarwo di Bandar Lampung. Ia menilai bahwa terdapat praktik yang perlu dikaji lebih lanjut untuk memastikan profesionalisme dalam penanganan kasus ini.
Natalia juga menyatakan bahwa Polda Metro Jaya telah menerima laporan terkait kasus ini dan menemukan indikasi awal yang cukup untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
"Kami telah melaporkan kasus penipuan ini ke Polda Metro Jaya. Saat ini, semua pelaku sedang dipanggil untuk dimintai keterangan, dan hasil gelar awal diputuskan untuk menerima laporan tindak pidana atas korban Tedy Agustiansjah dengan status penyelidikan yang akan segera naik ke tahap penyidikan," tegas Natalia Rusli.
Natalia juga telah melayangkan aduan terkait kasus ini ke Komisi XIII DPR RI agar mendapat perhatian. Bahkan, menurutnya, Komisi XIII sudah merencanakan untuk turun langsung ke Bandar Lampung.
Selain itu, Natalia telah mengajukan surat ke Komisi Yudisial (KY) untuk mengadukan persidangan tersebut dan mengonfirmasi bahwa KY akan turun tangan.
"Karena adanya indikasi mafia tanah dan penipuan, seperti yang kita ketahui biasanya mafia tanah memiliki backing dari oknum tertentu, maka korban melalui saya selaku kuasa hukum sudah mengadukan perkara ini ke Komisi XIII DPR," tegasnya.
Ia berharap rekan-rekan sesama advokat di Indonesia bekerja secara profesional dan tidak memperkaya diri dengan memainkan perkara.
"Pesan saya kepada rekan-rekan di Lampung, bersikaplah profesional. Tidak baik dan tidak layak mempermainkan perkara seperti ini," tandasnya.
Sebelumnya, kasus ini bermula dari proyek pembangunan cabang Resto Bebek Tepi Sawah yang digagas oleh Titin alias Atin, Komisaris PT Mitra Setia Kirana, bersama menantunya, Andy Mulya Halim. Mereka mengajak Tedy Agustiansjah untuk berinvestasi dalam proyek tersebut.
Namun, proyek ini tiba-tiba mangkrak. Lebih parah lagi, kontraktor yang kini menggugat Tedy, yakni CV Hasta Karya Nusapala, ternyata dimiliki oleh Andy sendiri.
Bukan hanya proyek yang gagal, kini tanah milik Tedy senilai Rp48 miliar malah terancam disita, sementara dana Rp16 miliar dari proyek ini lenyap tanpa kejelasan.
"Ini bukan sekadar gugatan wanprestasi. Ini skema yang dirancang untuk mengambil alih aset klien kami! Ini bukan bisnis yang gagal, ini perampokan berkedok hukum!" ujar Farlin Marta, kuasa hukum tergugat lainnya.
Farlin juga menyebutkan bahwa penggugat tidak menghadirkan saksi dalam sidang hari itu.
"Tidak ada kejelasan mengapa saksi tidak hadir. Apakah sakit atau ada alasan lain, tidak ada informasi sama sekali," jelasnya.
Sidang ditunda hingga Jumat, 14 Februari 2025, yang menjadi kesempatan terakhir bagi penggugat untuk menghadirkan saksi.
Farlin mengaku belum mengetahui siapa saksi fakta dan saksi ahli yang akan dihadirkan dalam sidang berikutnya.
"Saksi fakta yang mengetahui kasus ini, menurut mereka. Kita lihat saja apakah benar atau tidak," terangnya.
Sebagai informasi, Titin bersama dua orang lainnya sebelumnya telah dilaporkan ke Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya pada 3 Januari 2025.
Dua orang lainnya, yakni Andy Mulya Halim dan Hadi Wahyudi, ikut dilaporkan bersama Titin atas dugaan penipuan dan penggelapan uang sebesar Rp 16 miliar.
Uang tersebut diberikan secara bertahap dalam periode 2018 hingga 2020 untuk membangun sebuah restoran bebek di tepi sawah di daerah Bandar Lampung.
Restoran tersebut dibangun di atas tanah milik korban, sementara ketiga orang terlapor bertindak sebagai developer atau pihak pengembang.
"Mereka membuat surat perjanjian dengan Hadi Wahyudi (kontraktor), yaitu Surat Perjanjian Kontrak Kerja Nomor: 022-SPK/HKN-19/IV/2019 tanggal 29 April 2019 dan Surat Perjanjian Kontrak Kerja Nomor: 032-1-MEP-SPK/HKN-01/IX/2019 tanggal 10 September 2019," katanya.
Dalam kontrak kerja tersebut, para terlapor tidak pernah mencantumkan nama maupun tanda tangan korban.
Bahkan, terlapor juga tidak pernah menguraikan atau menjelaskan pembangunan restoran, klub, kafe, kantor, lounge, serta hunian pribadi itu berdiri di atas tanah milik siapa.
Baca Juga: Faizal Riza dan PT Klumbayan Gold Farm Bawa Lada Hitam Asli Lampung ke Pasar Internasional
Para terlapor tidak mencantumkan bukti sertifikat hak milik maupun luas tanah yang digunakan, hingga akhirnya diketahui bahwa proyek pembangunan tersebut mangkrak.
"Sampai saat ini, korban tidak pernah menerima pembayaran atau cicilan dari pihak terlapor (Titin dan Andy Mulya Halim) atas penggunaan dana sebesar Rp 16 miliar. Kami baru mengetahui bahwa Hadi Wahyudi (kontraktor) hanyalah figur, dan faktanya 50 persen kepemilikan CV Hasta Karya Nusapala adalah milik Andy Mulya Halim," terangnya.
Ia berharap kasus ini bisa segera dituntaskan demi memberikan rasa keadilan kepada kliennya yang mengalami kerugian hingga belasan miliar rupiah.
Tak hanya itu, Titin juga dilaporkan oleh Tedy Agustiansjah ke Polres Metro Jakarta Utara pada awal Januari 2025.
Laporan tersebut dibuat karena Titin diduga melakukan penipuan dan penggelapan uang milik Tedy sebesar Rp 3,5 miliar.
Kuasa hukum Tedy, Farlin Marta, mengatakan bahwa pada tahun 2018 lalu, Titin meminjam uang kepada kliennya dengan alasan ingin merenovasi rumah yang berlokasi di Jalan Griya Ratna Blok J2, RT11/RW20, Sunter Agung, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Menurut Farlin, Titin berjanji bahwa setelah pembangunan rumah tersebut selesai, rumah itu akan dijual, dan hasilnya akan digunakan untuk melunasi utang serta memberikan keuntungan kepada Tedy.
"Sepengetahuan Pak Tedy, rumah itu atas nama Titin. Kasusnya terjadi pada tahun 2018, jika tidak salah," ucapnya saat dikonfirmasi, Kamis (30/1/2025)."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement