
Menurunnya daya beli masyarakat membuat sektor ritel di Indonesia mengalami pelemahan yang semakin terasa sejak 2023.
Managing Director Commercial Real Estate and Shopping Center Studies (CRCS), Yongky Susilo, menyebut bahwa kondisi ini disebabkan oleh inflasi barang konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pendapatan, sehingga kelas atas mulai menahan pengeluaran sejak 2024.
"Hal ini menyebabkan sektor ritel mengalami tekanan sejak 2023, diperburuk oleh kenaikan harga BBM, inflasi, dan ketidakpastian politik akibat pemilu," ujar Yongky dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (26/2/2025).
Indonesia saat ini kehilangan sekitar 4% populasi kelas menengah yang sebelumnya menyumbang 80% konsumsi sektor ritel. Meski ekonomi nasional tumbuh 5%, hal ini dinilai belum cukup untuk mendorong perputaran perdagangan karena inflasi yang tinggi sejak 2022.
Baca Juga: Jaga Daya Beli, Pemerintah Berikan Insentif Pajak PPh 21 untuk Pekerja Sektor Tertentu
Di sisi lain, muncul fenomena "makan tabungan" atau mantab, di mana masyarakat kelas menengah dan bawah mulai mengandalkan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sejak kuartal IV 2023. Hal ini semakin mengindikasikan daya beli masyarakat yang terus melemah.
"Jika konsumsi masyarakat dan pengusaha melemah, maka pertumbuhan ekonomi nasional juga akan terdampak langsung," ungkap Yongky.
Perubahan perilaku konsumen pasca-pandemi juga berdampak pada sektor e-commerce. Masyarakat mulai kembali ke kebiasaan lama seperti berbelanja langsung, berolahraga, bepergian, dan makan di luar. Akibatnya, trafik e-commerce menurun 14,68% pada 2023 dibandingkan Desember 2022.
"Misalnya, Shopee pada Desember 2022 mencatat 191,6 juta kunjungan, namun jumlah tersebut turun menjadi 159 juta pada Maret 2023," jelasnya.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Stagnan, INDEF: Daya Beli Masih Muram, Industri Suram
Untuk mengatasi krisis ini, Yongky menyarankan pemerintah menciptakan lebih banyak lapangan kerja serta menghentikan impor ilegal yang mematikan produk lokal. Menurutnya, impor ilegal tidak hanya merugikan industri dalam negeri, tetapi juga memicu kenaikan harga dan kelangkaan produk di pasar.
Senada dengan Yongky, Ketua Kamajaya Bisnis Club, Fransiscus Go, menilai bahwa Indonesia berisiko terjebak dalam middle-income trap, yakni kondisi di mana pertumbuhan ekonomi stagnan di level menengah tanpa mampu naik ke kategori negara berpenghasilan tinggi.
"Krisis kelas menengah ini dapat diatasi dengan meningkatkan kualitas pendidikan, pelatihan keterampilan, mendorong kewirausahaan dan inovasi, serta memberikan insentif bagi UMKM dan ekonomi kreatif," ujar Fransiscus.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement