Bos BI Beberkan Alasan Investor Lebih Pilih ke Emas Dibandingkan Saham

Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa di tengah ketidakpastian pasar global, terjadi perubahan perilaku investor yang semula mengalokasikan dana ke pasar saham dan obligasi, kini beralih ke komoditas emas.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa arus modal global yang sebelumnya tertuju ke pasar keuangan Amerika Serikat (AS)—baik saham, obligasi, maupun sekuritas lainnya—mulai mengalami pergeseran. Ketidakpastian global mendorong investor mencari aset yang lebih aman.
"Terjadi pergeseran investasi portofolio global yang sebelumnya berbondong-bondong ke Amerika. Sekarang mulai ada pergeseran untuk obligasi, ya, fixed income securities," ujar Perry dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (19/3/2025).
Baca Juga: IHSG Masih Terpuruk, BI Pede Pasar Saham RI Tetap Menarik Bagi Asing
Ia menambahkan bahwa saat ini minat investor terhadap investasi emas di negara berkembang (emerging market) mulai meningkat. Meski pergeseran investasi ke emerging market belum begitu kuat, investasi emas mengalami lonjakan signifikan.
"Dengan perkembangan terakhir ini sudah mulai ada pergeseran. Untuk SBN, obligasi yang dimiliki pemerintah maupun swasta, mulai ada pergeseran. Sebagiannya mulai balik ke emerging market, tetapi belum kuat, ya. Namun, yang besar adalah pergeseran ke emas, investasi ke emas," jelasnya.
Selain itu, Perry mengungkapkan bahwa harga saham di AS dan kawasan Asia juga mengalami penurunan. Hal ini menyebabkan aliran investasi lebih banyak mengarah ke negara maju di luar AS.
"Untuk saham, memang di Amerika terjadi penurunan harga, begitu juga di regional Asia. Jadi, investasi portofolio lebih banyak beralih ke negara maju selain Amerika," katanya.
Baca Juga: Pelaku Pasar Nantikan Pemangkasan BI Rate dan Soroti Kebijakan Pro Pasar dari Pemerintah
Perry menegaskan bahwa ketidakpastian global tetap tinggi, terutama akibat kebijakan tarif impor yang diterapkan AS. Kebijakan ini berdampak signifikan pada banyak negara dan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dunia.
Menurutnya, dampak utama dari kebijakan tersebut adalah perlambatan ekonomi global yang diperkirakan hanya tumbuh 3,2 persen. Hal ini memberikan tekanan besar terhadap sumber-sumber pertumbuhan ekonomi, terutama di AS.
"Kelihatan sekali bahwa di Amerika sendiri, dampak negatif kebijakan tarif impor terhadap pertumbuhan ekonomi lebih besar dibandingkan dampak positif dari kebijakan stimulus fiskal domestik," tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cita Auliana
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement