Kredit Foto: Rahmat Dwi Kurniawan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengonversi 5.239 unit Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dalam program dedieselisasi. Upaya pengalihan PLTD menjadi pembangkit berbasis energi terbarukan (EBT) ini bertujuan memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus mendukung transisi energi di Indonesia.
Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, menjelaskan bahwa konversi dilakukan secara bertahap.
“Sebagai negara kepulauan, kami memiliki banyak sistem listrik terisolasi yang masih menggunakan diesel. Untuk mendukung kebijakan dekarbonisasi, pemerintah sedang mendorong program konversi lebih dari 5.000-an unit pembangkit diesel menjadi pembangkit berbasis energi terbarukan,” ujar Feby dalam ESSA Summit 2025 di Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Baca Juga: Bahlil Perintahkan PLN Bangun PLTP 40 MW di Maluku, Siap Gantikan PLTD Tua
Pada tahap awal, pemerintah memfokuskan konversi PLTD dengan memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dilengkapi baterai penyimpanan sebesar 166 megawatt peak. Kapasitas baterai mencapai 390 megawatt jam (MWh) dan tersebar di 94 lokasi di seluruh Indonesia.
“Beberapa pulau saat ini hanya memiliki akses listrik selama beberapa jam per hari. Dengan PLTS dan baterai, layanan listrik dapat ditingkatkan menjadi 24 jam sehari untuk masyarakat di wilayah terpencil,” lanjutnya.
Baca Juga: Percepat Pengembangan Pembangkit EBT, Kementerian ESDM Terbitkan Aturan PJBL
Tahap berikutnya akan mengembangkan pembangkit dengan sumber EBT lain seperti biomassa, tenaga angin, serta energi lokal lainnya yang sesuai dengan kondisi geografis daerah masing-masing.
Feby menekankan perlunya kesiapan regulasi untuk mendukung program ini. Saat ini, pemerintah tengah menyusun skema tarif pembangkit hibrida, karena Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 belum mengatur mekanisme tarif bagi kombinasi teknologi seperti PLTS-baterai (battery energy storage system/BESS) atau PLTS-biomassa.
“Saat ini, kami sedang mempersiapkan regulasi untuk akumulasi tarif sistem hibrida di sistem terisolasi, karena Perpres No. 112 belum mengakomodasi teknologi hibrida,” katanya.
Program dedieselisasi menjadi langkah strategis dalam menekan konsumsi bahan bakar minyak di sektor kelistrikan, mengurangi beban subsidi energi, dan meningkatkan kualitas layanan listrik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Di saat yang sama, program ini memperkuat transisi energi berbasis potensi lokal yang ramah lingkungan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement