Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Konflik yang tengah berlangsung di Timur Tengah antara Iran dan Israel menimbulkan dampak signifikan terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia.
Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, mengatakan meningkatnya ketegangan geopolitik turut memicu ketidakpastian ekonomi dunia dan menciptakan tekanan terhadap berbagai indikator ekonomi nasional.
“Perang antara Israel dan Iran yang berlangsung saat ini memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian global, yang pada gilirannya turut berimbas ke Indonesia,” ujar Josua kepada Warta Ekonomi, Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Josua menilai, eskalasi konflik ini menyebabkan ketidakpastian geopolitik meningkat tajam, terutama karena Iran merupakan produsen minyak terbesar ketiga di OPEC, dengan produksi sekitar 3,2 juta barel per hari, setara dengan 3% produksi minyak global.
Baca Juga: Harga Minyak Naik, Konflik Iran-Israel Memanas Gegara Seruan Trump
Sehingga menyebabkan harga minyak dunia melonjak sekitar 7% ke level US$74,20 per barel pada 13 Juni 2025, seiring kekhawatiran terganggunya pasokan minyak global.
Ia mengatakan, dampak signifikan akan terasa dengan meningkatnya harga minyak global yang berpotensi mendorong inflasi, terutama bagi negara-negara seperti Indonesia yang masih sangat bergantung pada impor minyak mentah.
Namun, Josua menilai bahwa dampak langsung terhadap ekonomi Indonesia sejauh ini masih cenderung terbatas.
“Indonesia yang masih sangat bergantung pada impor minyak mentah untuk kebutuhan energinya. Meski demikian, dampak langsung terhadap perekonomian Indonesia sejauh ini masih cenderung terbatas,” imbuhnya.
Sementara itu, dampak perang Iran-Israel terhadap nilai tukar rupiah cukup terasa. kurs rupiah melemah moderat sebesar 0,37% menjadi sekitar Rp16.295 per dolar AS pasca terjadinya eskalasi, mengindikasikan bahwa investor masih mencermati durasi dan tingkat keparahan konflik tersebut sebelum mengambil posisi yang lebih agresif di pasar keuangan domestik.
Baca Juga: Perang Nuklir Depan Mata, Iran Mau Keluar dari Traktat Non-Proliferasi Usai Diserang Israel
“Pola pergerakan rupiah ini serupa dengan situasi awal konflik Rusia-Ukraina pada tahun 2022, di mana depresiasi mata uang pada tahap awal relatif terkendali sebelum meningkat seiring waktu,” urainya.
Josua turut menyoroti kondisi pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun naik sekitar 4 basis poin menjadi 6,72%, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap inflasi global dan potensi penundaan penurunan suku bunga oleh Bank Indonesia.
Selain itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga sempat mengalami penurunan 0,53% ke level 7.166 setelah konflik pecah, namun mulai pulih berkat sentimen positif dari data penjualan ritel China yang lebih baik dari ekspektasi serta meredanya kekhawatiran konflik berkepanjangan, khususnya dengan upaya mediasi internasional yang dilakukan AS dan Rusia.
Josua menyatakan selama konflik tidak meluas dan tidak mengganggu infrastruktur energi strategis Iran secara signifikan, dampaknya terhadap perekonomian Indonesia akan tetap terkendali. Ia memperkirakan indikator makroekonomi nasional masih akan berada pada jalur stabil hingga akhir tahun.
Ia mengatakan, proyeksi makroekonomi Indonesia untuk akhir tahun 2025 masih relatif stabil, dengan inflasi diperkirakan sebesar 2,33%, suku bunga acuan BI diproyeksi turun ke 5,25%, yield obligasi pemerintah 10-tahun berada dalam kisaran 6,6-6,8%, serta nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.100–16.400 per dolar AS.
“Kondisi ini mencerminkan bahwa walaupun terdapat tantangan jangka pendek, ekonomi Indonesia diperkirakan tidak akan lesu secara signifikan akibat konflik ini selama situasi tetap terkendali dan tidak terjadi gangguan yang lebih besar pada pasokan minyak global,” terangnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cita Auliana
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement