Situs Pemerintah Dikuasai Judi Online, Pakar Sebut Kelalaian Fatal
Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Situs milik instansi pemerintah dan perguruan tinggi di Indonesia kembali tercoreng, bukan karena penyebaran hoaks atau kebocoran data, melainkan karena berubah total menjadi situs judi online.
Dua situs pemerintah daerah, yakni milik Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Tabalong dengan domain bkpsdm.tabalongkab.go.id dan simpus.banyumaskab.go.id, kini menampilkan halaman bertema perjudian digital lengkap dengan promosi permainan “slot gacor” dan agen taruhan daring.
Kondisi serupa juga terjadi pada situs milik perguruan tinggi, seperti subdomain ptm.fkip.uns.ac.id milik Universitas Sebelas Maret dan ojs.unsulbar.ac.id milik Universitas Sulawesi Barat. Kedua situs tersebut kini memuat iklan permainan judi online dengan merek “Miliarbet”, disertai iming-iming “maxwin” dan bonus ratusan persen.
Baca Juga: Berantas Judi Online, Budi Gunawan Blokir 34.321 Konten dan Tetapkan 14 Tersangka Baru
Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, mengatakan kejadian ini sebagai puncak dari kelalaian sistemik dalam pengelolaan keamanan digital di institusi publik.
"Ini sebenarnya bukan masalah baru. Situs-situs pemerintah daerah itu sangat rentan karena dari awal dibuatnya saja sudah bermasalah," ujar Ardi di Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Ardi mengatakan, banyak situs instansi pemerintah maupun perguruan tinggi dibangun tanpa memperhatikan standar keamanan digital. Proses pengadaan pembuatan situs lebih mengutamakan aspek biaya dan tampilan visual, ketimbang kompetensi teknis pengembang.
"Banyak pengembang situs itu tidak punya sertifikasi keamanan seperti ISO-27001. Padahal itu dasar dalam manajemen keamanan informasi," ujarnya.
Baca Juga: Judi Online Makin Menjamur, OJK Blokir 17 Ribu Rekening
Selain itu, penggunaan penyedia layanan hosting pihak ketiga yang tidak memiliki jaminan keamanan memadai. Hal ini membuat situs-situs tersebut lebih mudah diretas bahkan diubah total oleh pihak tak bertanggung jawab.
Ardi menegaskan perguruan tinggi juga tak luput dari kelemahan serupa. Menurutnya, asumsi bahwa universitas pasti lebih aman karena memiliki fakultas teknologi informasi adalah anggapan keliru.
"Belum tentu mereka paham protokol keamanan. Bahkan universitas pun sering terjebak pada masalah yang sama: tidak punya anggaran cukup, dan tidak memahami standar minimal pengamanan digital," jelasnya.
Ia mengutip teori “six-ware” dari akademisi Rudy Gultom, yang menyebut budget-ware—atau keterbatasan anggaran—sebagai akar persoalan utama dalam kerentanan dunia siber.
Ardi juga menyoroti rendahnya kesadaran dan budaya digital di institusi publik. Ia menyebut, banyak pimpinan institusi belum memahami pentingnya keamanan siber, yang berimbas pada lemahnya implementasi di tingkat teknis.
"Pimpinan institusi itu sering kali tidak punya wawasan soal keamanan dunia maya. Kalau pimpinannya tidak paham, bagaimana bawahannya?" katanya.
Ia menilai akar persoalan ini juga menyentuh aspek pendidikan. Kurangnya kurikulum terkait budaya digital dan manajemen risiko sejak dini, menurutnya, membuat masyarakat tidak memiliki kesiapan menghadapi ancaman dunia maya.
Baca Juga: Pakar Ekonomi Kasih Paham Perbedaan Judi Kelas Receh dan Kasino
"Budaya digital itu tidak dibangun sejak sekolah dasar. Tidak ada dalam kurikulum. Begitu juga budaya memahami risiko—tidak pernah diajarkan," tegasnya.
Ardi menambahkan, meskipun Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta Kementerian Komunikasi dan Digital telah menyediakan pedoman keamanan siber, implementasinya masih jauh dari harapan.
"Kalau tidak ada kesadaran dan budaya keamanan, akan terus terulang. Hari ini situs berubah jadi judi online, besok bisa jadi penyebar malware. Ini ancaman serius," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement