Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dolar Melemah, Pasar Soroti Nasib Independensi The Fed

Dolar Melemah, Pasar Soroti Nasib Independensi The Fed Kredit Foto: Antara/Subur Atmamihardja
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dolar Amerika Serikat (AS) melemah terhadap sejumlah mata uang utama pada perdagangan Selasa (22/7). Pasar mencermati negosiasi perdagangan menjelang tenggat waktu yang dapat memicu pemberlakuan tarif besar-besaran terhadap negara-negara mitra dagang yang belum mencapai kesepakatan dengan AS.

Dilansir dari Reuters, Rabu (23/7), Indeks Dolar (DXY) yang mengukur kinerja dolar terhadap sekeranjang mata uang lainnya, turun 0,3% ke 97,545. Hal ini terjadi setelah dolar sempat menyentuh titik terendah dua pekan dalam awal sesi perdagangan.

Baca Juga: Utang AS Mencapai 36,2 Triliun Dolar, Sudah Melampaui Krisis Perang Dunia II

Menteri Keuangan Amerika Serikat, Scott Bessent mengatakan bahwa pemerintah saat ini lebih mementingkan kualitas perjanjian dagang ketimbang tenggat waktunya di 1 Agustus 2025.

Bessent juga menegaskan bahwa keputusan soal kesempatan perpanjangan deadline negosiasi kebijakan tarif akan tetap berada di tangan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

“Pasar saat ini masih menunggu dan belum terlalu bereaksi terhadap ancaman tarif hingga ada sesuatu yang benar-benar pasti,” ujar Kepala Global FX Jefferies, Brad Bechtel.

“Lagipula, sebagian besar data ekonomi masih terlihat cukup solid, bahkan setelah beberapa tarif sebelumnya sudah diberlakukan," tambahnya.

Kondisi pasar valuta asing sendiri masih dipengaruhi oleh ketidakpastian tarif global, membuat mata uang cenderung bergerak dalam rentang sempit, bahkan ketika pasar saham mencetak rekor tertinggi baru di AS.

Di sisi lain, kekhawatiran juga mencuat terkait independensi dari Federal Reserve (The Fed). Trump kembali melontarkan kritik hingga menyarankan pengunduran diri menyusul tak adanya penurunan suku bunga dari Ketua The Fed, Jerome Powell.

Namun, Scott Bessent mengambil sikap lebih tenang. Ia menyatakan tidak ada kebutuhan mendesak bagi sang ketua bank sentral untuk mundur dan menambahkan bahwa sosok itu bisa menyelesaikan masa jabatannya hingga Mei 2026.

Baca Juga: Soal Volume Impor Migas dari AS, Airlangga: Lihat Kebutuhan Indonesia

Jika Powell digantikan oleh sosok yang dianggap lebih tunduk pada keinginan pemerintah, maka hal tersebut bisa melemahkan kepercayaan terhadap kebijakan moneter dari AS. Hal itu juga mendorong pelemahan dolar lebih lanjut serta memicu kenaikan tajam suku bunga jangka panjang.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: