Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Hutan Alam Indonesia Hilang 206 Ribu Hektare Selama 2024, Ini Pemicunya

Hutan Alam Indonesia Hilang 206 Ribu Hektare Selama 2024, Ini Pemicunya Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Yayasan Madani Berkelanjutan, mencatat sepanjang 2024, luas hutan di Indonesia yang hilang mencapai 206 ribu hektare, naik sekitar 71 ribu hektare dibandingkan tahun sebelumnya. Hal tersebut terungkap dalam laporan bertajuk “Deforestasi di Rezim Transisi: Hilangnya Hutan Alam Tahun 2024”.

Laporan tersebut mencatat peningkatan signifikan hilangnya hutan alam di Indonesia selama masa transisi pemerintahan. Laporan ini menyoroti lemahnya perlindungan struktural terhadap hutan alam baik dari sisi hukum maupun pengawasan yang menjadikan masa transisi sebagai periode krusial bagi keberlanjutan hutan di Indonesia.

GIS Specialist Madani Berkelanjutan, Fadli Ahmad Naufal, mengatakan sebagian besar deforestasi, sekitar 72 persen, terjadi di dalam kawasan hutan, khususnya pada kawasan hutan produksi tetap. Kalimantan Timur, Riau, dan Kalimantan Barat menjadi wilayah dengan tingkat kehilangan tertinggi, termasuk kawasan-kawasan dengan fungsi ekologis penting seperti gambut dan kawasan konservasi.

Baca Juga: Pimpin Rapat dari Hambalang, Presiden Prabowo Bahas Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan

"Bahkan, 39 ribu hektare dari total deforestasi terjadi di dalam area moratorium hutan (PIPPIB), yang seharusnya menjadi benteng perlindungan terhadap hutan alam primer dan lahan gambut,” ujar Fadli dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (9/8/2025).

Fadli mengatakan lebih dari separuh deforestasi terjadi di kawasan yang telah memiliki izin resmi. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) menjadi penyumbang deforestasi terbesar dengan 66 ribu hektare, diikuti sektor perkebunan sawit yang mencapai 51 ribu hektare.

"Sekitar seperempat dari deforestasi di area PBPH bahkan terjadi di ekosistem gambut, yang berfungsi penting sebagai penyerap karbon dan penstabil iklim," ujanya.

Baca Juga: BPDLH Salurkan Dana Perlindungan Hutan Sebesar Rp 507 Miliar Kepada 24 Provinsi

Legal Specialist Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin, mengatakan proyek-proyek strategis nasional juga berkontribusi terhadap deforestasi yang masif. Di Merauke, Papua Selatan, proyek food estate menyebabkan hilangnya hutan alam hampir 5 ribu hektare.

Sementara itu, ekspansi tambang nikel di pulau-pulau kecil seperti Gag dan Kawe di Raja Ampat mengabaikan batas-batas ekologis dan hukum, termasuk pelanggaran terhadap ketentuan perlindungan pulau-pulau kecil.

"Situasi ini semakin mengkhawatirkan karena tambang-tambang tersebut berada di kawasan yang seharusnya menjadi zona yang dilindungi,” ujar Sadam 

Laporan juga menyoroti keterbatasan pengakuan hukum terhadap wilayah adat, yang selama ini terbukti efektif menjaga tutupan hutan alam. Hingga Maret 2025, hanya sekitar 330 ribu hektare Hutan Adat yang resmi diakui negara. Padahal, luas wilayah adat yang telah dipetakan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencapai lebih dari 32,3 juta hektare.

Baca Juga: Rapat Terbatas di Hambalang: Presiden Tekankan Percepatan Pembangunan Bandara dan Mitigasi Kebakaran Hutan

Program Lead untuk Iklim dan Ekosistem di Madani Berkelanjutan, Yosi Amelia, mengatakan secara global, wilayah kelola masyarakat adat terbukti memiliki tingkat deforestasi lebih rendah dan menyimpan lebih banyak keanekaragaman hayati.

Dalam situasi di mana target iklim nasional melalui FOLU Net Sink 2030 sedang dikejar, deforestasi tahun 2024 justru mencerminkan tantangan serius bagi pencapaian komitmen iklim Indonesia. Sistem perizinan yang longgar dan tidak menjamin perlindungan ekologis telah menjadi saluran utama deforestasi struktural.

"Di tengah krisis iklim global, kebijakan pemerintah ke depan perlu berani merevisi paradigma pengelolaan hutan, dari orientasi eksploitatif menuju sistem perlindungan hutan yang berbasis keadilan ekologis dan pengakuan hak masyarakat adat,” ujar Yosi.

Baca Juga: Gunung Raja Paksi Dukung Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Kalimantan Timur

Yosi menegaskan bahwa momentum perubahan pemerintahan harus dimanfaatkan untuk mengevaluasi kebijakan kehutanan nasional, termasuk pembahasan ulang Undang-Undang Kehutanan. Pemerintah juga didorong untuk mengkaji ulang proyek-proyek strategis nasional agar tidak lagi menjadi penyebab utama deforestasi.

“Tanpa perubahan mendasar dalam tata kelola perizinan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat, maka upaya mencapai target iklim dan menjaga keanekaragaman hayati hanya akan menjadi wacana tanpa hasil nyata,” pungkas Yosi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: