Kredit Foto: SKK Migas
Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan 16 Agustus lalu menegaskan bahwa ketahanan energi menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah. Fokus utama diarahkan pada peningkatan produksi migas, percepatan transisi menuju energi bersih, serta penyaluran subsidi energi yang lebih tepat sasaran. Sebagai bukti keseriusan, pemerintah mengalokasikan dukungan fiskal sebesar Rp402,4 triliun pada tahun 2026 untuk memperkuat sektor ketahanan energi nasional. Dewan Energi Nasional (DEN) menilai langkah ini sudah berada di jalur yang tepat untuk mempercepat transformasi energi Indonesia.
Anggota DEN, Abadi Poernomo, menyatakan optimisme bahwa Indonesia mampu mencapai target produksi satu juta barel minyak per hari pada 2030. Keyakinan tersebut didukung data SKK Migas yang menunjukkan tren positif, dengan peningkatan lifting minyak sebesar 4.000 barel per hari (bph), dari 576.000 bph pada pertengahan 2024 menjadi 580.000 bph pada periode yang sama di 2025. Abadi menilai capaian ini sebagai bukti nyata bahwa upaya peningkatan produksi migas sudah berada on track menuju target jangka panjang.
“Peningkatan lifting minyak ini sudah on track untuk target satu juta bph. Namun, memang masih ada kesenjangan antara kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional yang mencapai sekitar 1,5 juta bph dengan hasil lifting. Kondisi ini pun akhirnya memaksa kita untuk masih impor, baik dalam bentuk minyak mentah maupun produk jadi BBM,” kata Abadi kepada media.
Baca Juga: Pertamina EP Bunyu Sukses Ganti Katup Sumur Migas Tanpa Hentikan Produksi
Abadi menjelaskan untuk mengatasi masih adanya impor energi ini, target produksi satu juta bph menjadi sasaran utama untuk mencapai swasembada energi nasional. Swasembada energi merupakan sebuah lompatan besar jika dibandingkan dengan sekadar ketahanan energi. Swasembada berarti seluruh kebutuhan energi primer nasional dapat dipenuhi dari sumber-sumber dari dalam negeri. Berbeda dengan ketahanan energi yang lebih berfokus pada ketersediaan pasokan tanpa memandang asalnya, termasuk dari impor.
Abadi menambahkan, SKK Migas sendiri sudah menjalankan sejumlah strategi untuk meningkatkan produksi migas yang meliputi beberapa pilar utama. Yakni dimulai dari eksplorasi yang ekstensif untuk menemukan cadangan baru yang besar hingga reaktivasi sumur-sumur tua yang tersebar di berbagai wilayah. “Meskipun sumur-sumur tua mungkin hasilnya kecil-kecil, tetapi kalau banyak akan menjadi banyak juga,” kata Abadi.
Optimalisasi lapangan-lapangan tua melalui teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) juga dapat memaksimalkan pengangkatan sisa minyak dari dalam reservoir. Abadi juga mendorong adanya penemuan cadangan baru, sebab sumber daya fosil suatu saat akan habis.
Sebelumnya, Presiden Prabowo dalam pidato pembukaan Konvensi dan Pameran Tahunan ke-49 Indonesian Petroleum Association (IPA Convex) Tahun 2025 pada 21 Mei 2025 sempat menyinggung besarnya pengeluaran Indonesia untuk impor migas. Dalam setahun, Indonesia mengimpor migas senilai US$40 miliar atau sekitar Rp650 triliun dan menekankan pentingnya swasembada energi hingga mengurangi ketergantungan impor.
Peran Strategis Hulu Migas
Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Ahmudi Achyak menyebutkan di tengah perbincangan transisi energi, semua pihak harus tetap berpijak pada realitas. Pasalnya, porsi energi fosil dalam bauran energi nasional masih dominan yakni di atas 80%. Dengan mengesampingkan peran hulu migas demi idealisme transisi energi yang terburu-buru justru dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan program hilirisasi yang sedang berjalan.
“Proses transisi energi harus berjalan mulus dengan mengombinasikan sumber daya fosil dengan energi terbarukan secara bertahap. Terlebih lagi, peningkatan produksi hulu migas bisa menjadi langkah konkret untuk mengurangi ketergantungan impor dan memperkuat fondasi energi nasional,” tegas Ali.
Baca Juga: 69 % Produksi Migas Indonesia Digunakan Untuk Keperluan Dalam Negeri
Upaya ini menuntut optimalisasi peran SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam mengatur dan mengelola lapangan-lapangan eksisting maupun mencari potensi cadangan baru. Data SKK Migas menunjukkan, hingga pertengahan tahun 2025 pengeboran sumur pengembangan sudah menyelesaikan 409 sumur atau meningkat 14% dibandingkan periode yang sama 2024 sebanyak 358 sumur. Kegiatan workover telah menyelesaikan 517 sumur atau meningkat 6% dan kegiatan well service mencapai 20.644 kegiatan atau naik 12%.
Ali mengingatkan, semua upaya tersebut tidak akan berjalan optimal tanpa dukungan penuh dari pemerintah. Dia menyoroti karakteristik industri hulu migas yang padat modal, padat teknologi, dan memiliki risiko yang sangat tinggi, baik dari sisi finansial, hukum, maupun keselamatan kerja.
"Dengan situasi seperti ini tidak banyak investor yang kemudian berani mengambil risiko. Agar investor ini berani maka pemerintah perlu memberikan kepastian hukum. Selain itu perlunya penyediaan insentif fiskal, seperti pemotongan pajak, untuk menarik lebih banyak minat para investor,” tutup Ali.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement