Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Reformasi Tata Kelola Hutan: Audit BPK hingga Aksi Satgas PKH

Reformasi Tata Kelola Hutan: Audit BPK hingga Aksi Satgas PKH Kredit Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Warta Ekonomi, Bandung -

Reformasi tata kelola hutan Indonesia memasuki babak baru. Dari hasil audit BPK yang mengungkap potensi kerugian triliunan rupiah hingga keberhasilan Satgas PKH menyelamatkan jutaan hektare, pemerintah menunjukkan keseriusan menjaga aset hijau bangsa.

Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021 menunjukkan, 4,61 juta hektare kawasan hutan telah digunakan secara ilegal, di mana 2,9 juta hektare telah ditanami perkebunan. Bahkan, data terbaru tahun 2023 mencatat masih ada 2,5 juta hektare perkebunan aktif di kawasan hutan tanpa izin yang sah.

“Total potensi kerugian negara hasil hitungan auditor keuangan negara kita sebut Rp300 triliun. Angka itu merujuk pada SK MenLHK No. 661 dan 815/2023. Yang menentukan ukuran hitungan itu adalah KLHK,” kata Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, Senin (15/9/2025).

Baca Juga: Menteri Kehutanan Dorong Percepatan Penetapan 1,4 Juta Hektare Hutan Adat

Langkah penyelidikan sempat dilakukan Kejaksaan Agung pada Oktober 2024, dengan penggeledahan di sejumlah ruang strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penyidik menyasar Direktorat Pelepasan Kawasan Hutan dan PNBP, serta menyita dokumen, file elektronik, dan kontrak. Namun hingga kini, belum ada satu pun aparatur sipil negara (ASN) KLHK yang ditetapkan sebagai tersangka.

“Dugaan Kejagung, korupsi itu rentang waktu 2005–2024, persis. Tapi, hingga kini tidak ada satu pun ASN KLHK yang diumumkan sebagai tersangka. Ini agak tidak lazim di lingkungan Kejagung. Ada apa?” tanya Iskandar.

Sementara itu, pemerintah membentuk Satgas PKH melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 untuk merespons skandal kehutanan yang merugikan negara secara masif. Satgas mencatat capaian besar, yakni mengembalikan 3,3 juta hektare kawasan hutan yang sebelumnya dikuasai secara ilegal.

Dalam prosesnya, ditemukan pelanggaran oleh 315 perusahaan di 12 provinsi, dan berhasil dihimpun pendapatan negara sebesar Rp605 miliar dari Pajak Bumi dan Bangunan serta pajak lainnya. Lahan yang disita kemudian dialihkan ke BUMN. 

Namun keberhasilan tersebut tetap menyisakan pertanyaan publik. Iskandar mengungkapkan keheranannya mengapa hanya perusahaan yang ditindak, sementara pejabat yang menerbitkan izin terkesan tidak tersentuh.

“Namun, publik bertanya, Kalau perusahaan dibongkar, kenapa justru pejabat pemberi izin tak tersentuh?” ujarnya.

IAW juga mengungkap, banyak perusahaan menggunakan modus yang sama, menanam  lebih dulu di hutan, kemudian baru mengurus legalitas lewat skema pelepasan kawasan. Strategi tersebut bahkan sering dibungkus sebagai kemitraan dengan masyarakat adat, meskipun tidak memiliki dasar hukum yang sah.

Tidak sedikit pula pelaku  tambang ilegal yang memalsukan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan menggunakan perusahaan cangkang atau nominee untuk menghindari regulasi. Pejabat di tingkat eselon I dan II KLHK diduga turut menyetujui pelepasan kawasan hutan tanpa landasan hukum memadai, memperkuat dugaan bahwa praktik korupsi tak hanya terjadi di lapangan, tetapi juga di meja birokrasi.

Guna memperkuat pengawasan, terbit Perpres No. 139 Tahun 2024 yang memisahkan urusan lingkungan hidup dan kehutanan menjadi dua kementerian. Namun kebijakan tersebut justru memperlambat proses hukum. Revisi atas PP 24/2021 yang ditandatangani pada 10 September 2025 memberi kewenangan tambahan kepada Satgas PKH untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa denda, bukan pidana.

“Tapi apakah itu cukup? Bila denda jadi solusi tunggal, maka hukum kehilangan tajinya. Yang kaya bayar, yang miskin dipenjara,” tegas Iskandar.

Kejagung tidak boleh tidak tinggal diam dan barus melakukan langkah konkret demi menjaga integritas hukum dan kepercayaan masyarakat. IAW mendesak kejagung segera mengumumkan nama ASN dan perusahaan yang telah memenuhi bukti untuk ditindak secara hukum.

IAW juga mendorong dibentuknya tim audit forensik gabungan Kejaksaan Agung, BPK, dan KPK untuk menelusuri seluruh Surat Keputusan pelepasan kawasan hutan sejak 2005. Selain itu, pemutihan melalui denda dinilai tidak bisa menjadi solusi utama.

Skema Kerja Sama Operasi (KSO) berbasis Hak Pengelolaan Lahan (HPL) disarankan agar negara tetap memiliki kontrol penuh, tanpa perlu menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) baru. IAW juga menyarankan agar seluruh kawasan hutan yang telah dialihfungsikan diaudit secara berkala oleh BPK.

“Keadilan tanpa diskriminasi, petani kecil tidak boleh lebih berat dihukum daripada konglomerat pelanggar hukum,” tegas Iskandar.

Lebih lanjut, ia menyatakan, upaya penegakan hukum tak boleh berhenti pada aktor-aktor yang terlihat di permukaan. Pejabat birokrasi yang turut andil dalam meloloskan praktik-praktik ilegal juga harus dimintai pertanggungjawaban.

Baca Juga: IAW Ajak Pemerintah Benahi Sistem Pengawasan Digital

“Jika Satgas PKH hari ini berhasil mengembalikan 3 juta hektare lebih kawasan hutan, maka bola sekarang di tangan Kejagung. Rakyat ingin tahu, siapa aktor dalam birokrasi yang selama ini ‘mengizinkan’ korupsi terjadi? Hukum seharusnya menyentuh siapa yang memberi izin, bukan hanya yang menerima untung,” jelasnya

Iskandar menegaskan, Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan komitmen terhadap penyelamatan hutan melalui pembentukan Satgas PKH. Namun, jika tidak diiringi penegakan hukum oleh lembaga penegak hukum, semua itu hanya akan menjadi etalase tanpa isi.

“Indonesia tidak butuh ‘drama hukum’, tapi penegakan keadilan yang nyata, berimbang, dan tidak diskriminatif,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: