Kredit Foto: Freepik
Petani di Lampung telah menghadapi permasalahan ubi kayu selama hampir setahun dengan harga jual yang sangat rendah, pada saat itu harga hanya sekitar Rp.600-700 per kg.
Harga ini di bawah biaya yang dikeluarkan petaniĀ yang tersebar di 7 Kabupaten dengan luasan lahan hampir 500 Ribu hektar sekitar Rp740 per kg.
Permasalahan ini sangat kompleks, karena tidak hanya terkait dengan Petani saja, tapi juga terkait dengan permasalahan di Industri Hulu (Pabrik Tepung Tapioka) dan di Industri Hilir yang menggunakan bahan baku Tepung Tapioka (Industri Makanan/Minuman, Industri Kertas dll).
Melansir dari siaran pers Kemenko Perekonomian, sejak awal tahun 2025, Pemerintah pusat melalui beberapa Kementerian telah berupaya untuk menyelesaikan permasalahan ini. Namun demikian, berbagai upaya yang telah dilakukan bersama oleh beberapa K/L di pusat dirasakan masih belum efektif, sehingga saat ini harga Ubi Kayu masih belum sesuai dengan harapan Petani, dan juga harga Tepung Tapioka di Industri Hulu juga cukup rendah.
Kondisi ini menyebabkan kerugian yang sangat besar di sisi Petani (yang menghasilkan Ubi Kayu) maupun pihak Industri Hulu (yang memproduksi Tepung Tapioka). Dugaan awal mengarah ke Industri Hilir, yang disinyalir lebih mementingkan Tepung Tapioka impor dari Thailand dan Vietnam, daripada membeli dari Industri Hulu di dalam negeri. Namun, setelah dilihat data impor dari BPS dan data Bea Cukai, memang terjadi lonjakan impor pada tahun 2024, namun totalnya hanya sebesar 300 Ribu ton atau sekitar 22% dari total kebutuhan bahan baku tepung tapioka di Industri Hilir yang sebesar 1.320 Ribu ton. Dengan demikian dapat dilihat bahwa masalah utama tidak terkait langsung dengan Industri Hilir.
Melihat kondisi seperti ini, Pemerintah segera merespon cepat dengan mengundang semua pihak yang terkait pada Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) pada hari Rabu 17 September 2025 di Kantor Kemenko Perekonomian, guna membahas dan mengambil langkah cepat untuk segera menyelesaikan permasalahan ini. Rakornis dihadiri semua pihak terkait: Pemerintah Pusat (Kemenko Perekonomian, Kemenko Pangan, Kemendag, Kemenkeu, Kementan, Kemenperin, KPPI dan KADI), Pemerintah Daerah (Asisten Gubernur, para Kepala Dinas, DPRD Provinsi), Pihak Terkait yaitu Petani (Ketua PPUKI), Industri Hulu (Ketua PPTTI), Industri Hilir (GAPMMI, APKI, Indah Kiat, RAPP, Indofood, Mayora dll).
Hasil pembahasan dan kesepakatan yang berhasil dicapai pada Rakornis tersebut antara lain:
1. Untuk mengatur dan membatasi importasi Tepung Tapioka, maka akan diberlakukan ketentuan Lartas (Larangan/ Pembatasan) berupa ketentuan: Importasi hanya bisa dilakukan API-P (Produsen), diterapkan ketentuan NK (Neraca Komoditas), diperlukan izin berupa PI (Persetujuan Impor) dengan rekomendasi dari Kemenperin.
2. Untuk mengendalikan importasi Tepung Tapioka, akan diberlakukan pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atau Safeguards, yang akan dikoordinasikan oleh KPPI dan Kemendag. Untuk mempercepat penerapannya, akan diterapkan terlebih dahulu BMTP Sementara.
3. Untuk menjaga stabilitas dan kepastian harga, akan diterapkan kebijakan Penetapan Harga atas Ubi Kayu dan Tepung Tapioka, melalui Keputusan Menteri sesuai dengan tugas/ fungsinya (KepMenTan untuk Ubi Kayu dan KepMenDag untuk Tepung Tapioka).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Advertisement