Program MBG Berpeluang Jadi Penggerak UMKM dan Ekonomi Daerah, IAW: Jika Beberapa Aspek Ini Terpenuhi
Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu prioritas nasional pemerintah dinilai sebagai langkah sosial strategis untuk menjawab tantangan gizi anak, ketimpangan akses pendidikan, serta penguatan ekonomi lokal.
Meski demikian, penerapannya dinilai masih menyisakan sejumlah persoalan mendasar yang perlu dibenahi secara serius.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menilai MBG merupakan program dengan niat baik, namun belum sepenuhnya didukung oleh fondasi operasional yang kokoh.
"Ketika angka-angka itu diturunkan ke dapur nyata, muncullah dilema kebijakan yang harus dijawab dengan rasional,” kata Iskandar, Minggu (19/10/2025).
Saat ini, alokasi anggaran MBG sebesar Rp15.000 per anak per hari. Rinciannya, Rp10.000 digunakan untuk bahan baku makanan dan Rp5.000 untuk biaya produksi serta distribusi. Namun, dengan harga bahan pokok saat ini, angka tersebut dinilai sangat ketat dan berisiko menurunkan kualitas makanan yang disajikan kepada anak-anak.
Perhitungan kasar menunjukkan bahwa untuk satu porsi, beras medium seharga Rp12.000 per kilogram setara dengan Rp1.200 per 100 gram, ayam atau ikan segar sebesar Rp2.000 per 50 gram, sayur dan buah sekitar Rp1.500, dan setengah butir telur mencapai Rp1.500. Total bahan baku sudah mendekati Rp6.000 hingga Rp6.500, belum termasuk bumbu, minyak goreng, serta pengemasan. Kondisi ini membuat ruang aman dalam anggaran menjadi sangat tipis.
"Ketatnya alokasi biaya membuka risiko berupa penurunan kualitas bahan, penyimpanan tidak higienis, dan potensi keracunan massal. Fakta ini diperkuat beberapa laporan insiden keracunan anak sekolah di sejumlah daerah, yang menunjukkan lemahnya penerapan prinsip HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dalam rantai pengolahan dan distribusi makanan," jelas Iskandar.
Dalam konteks pendidikan, MBG sesungguhnya dirancang sebagai alat pemerataan sosial yang memberikan akses gizi layak bagi seluruh anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi. Anak yang mendapatkan asupan gizi seimbang diharapkan memiliki konsentrasi belajar yang lebih baik di sekolah. Namun, efektivitas program ini juga bergantung pada aspek logistik dan pengawasan.
Baca Juga: Menteri UMKM Tekankan Pentingnya Madu Masuk Menu MBG
Rantai distribusi makanan harus bekerja secara cepat dan tepat waktu, mengingat jeda waktu antara pengantaran dan konsumsi makanan di sekolah hanya berkisar 90 menit. Keterlambatan pengiriman, kurangnya fasilitas penyimpanan dingin, atau penggunaan tempat saji terbuka bisa berdampak pada kerusakan makanan dan membahayakan kesehatan anak-anak.
"Artinya, aspek pendidikan dan gizi hanya dapat berjalan bila sistem pengawasan lintas dinas (pendidikan, kesehatan, dan ketahanan pangan) benar-benar aktif," ujar Iskandar seraya menekankan pentingnya kerja sama antarsektor guna menjamin kualitas dan keamanan program ini.
Sementara itu, dari sisi ekonomi, MBG semestinya bisa menjadi instrumen untuk menggerakkan ekonomi rakyat, khususnya melalui pemberdayaan UMKM lokal. Namun kenyataannya, berdasarkan analisis pengadaan publik, banyak penyedia MBG berasal dari vendor besar berskala nasional. Hal ini dinilai kontraproduktif terhadap semangat pemerataan manfaat ekonomi di tingkat daerah.
Jika pola pelaksanaan MBG diarahkan pada sistem dapur lokal berbasis komunitas, seperti koperasi, petani, dan pelaku UMKM setempat, maka dampak ekonominya akan jauh lebih terasa. Petani lokal dapat menjadi pemasok bahan segar, UMKM dapat memproduksi bumbu dan kemasan, serta sekolah menjadi pusat konsumsi sehat sekaligus edukasi gizi. Sayangnya, menurut Iskandar, hingga kini masih banyak dapur MBG yang bergantung pada suplai dari luar daerah karena lemahnya penguatan rantai pasok lokal.
Di sisi lain, beban operasional penyedia MBG juga tidak ringan. Dengan ongkos produksi sebesar Rp5.000 per anak untuk sekitar 3.000 hingga 3.500 anak per dapur, biaya yang dibutuhkan mencapai Rp15 juta hingga Rp17,5 juta per hari. Biaya ini harus mencakup gaji rata-rata 47 pekerja dapur, dengan upah harian antara Rp110.000 hingga Rp170.000 per orang.
"Di satu sisi, ini menunjukkan adanya lapangan kerja baru, namun di sisi lain, margin yang tipis menekan pelaku dapur untuk menurunkan standar operasional, baik dari bahan bakar, listrik, sampai kebersihan. Jika pemerintah tidak memperkuat sistem audit gizi dan keamanan pangan, maka kualitas makanan akan tetap menjadi titik rawan," jelas Iskandar.
Baca Juga: Ahli Gizi Beri Catatan untuk Makan Bergizi Gratis, SPPG Polri Dinilai Bisa Jadi Role Model
Iskandar mengatakan bahwa untuk menjadikan MBG sebagai program yang rasional dan berkelanjutan, pemerintah perlu melakukan penataan menyeluruh. Mulai dari evaluasi struktur anggaran, penguatan pengawasan lintas sektor, prioritisasi pelaku usaha lokal, hingga membangun sistem audit yang terintegrasi dan transparan.
Ia menekankan pentingnya pelibatan publik dalam pengawasan, termasuk keterbukaan informasi mengenai daftar menu, vendor, hingga hasil uji laboratorium makanan. Menurutnya, hal ini penting agar kepercayaan terhadap program MBG tetap terjaga, sekaligus menjamin kualitas layanan yang diterima anak-anak sekolah.
“Jika dapur MBG adalah laboratorium bangsa, maka setiap piring anak sekolah seharusnya bukan hanya berisi nasi dan lauk, tapi juga kejujuran, profesionalisme, dan tanggung jawab negara,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement