Momen Bersejarah: RI Resmi Mulai Perdagangan Karbon Internasional Berbasis Teknologi
Kredit Foto: Jababeka
Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menegaskan langkah besar menuju implementasi Article 6.2 Perjanjian Paris dengan dimulainya perdagangan karbon internasional berbasis teknologi pertama dari Indonesia. Penegasan ini disampaikan dalam rangkaian kegiatan COP30 di Brasil.
Aksi tersebut ditandai penandatanganan Framework Agreement antara PT PLN (Persero) dan Global Green Growth Institute (GGGI) di bawah skema kerja sama bilateral Indonesia–Norwegia. Melalui perjanjian ini, Indonesia akan menyalurkan hasil mitigasi emisi sebesar 12 juta ton CO₂e dari proyek energi terbarukan.
Penandatanganan ini merupakan bagian dari implementasi Generation-Based Incentive (GBI) Programme yang menjadi tindak lanjut konkret kerja sama Indonesia–Norwegia antara KLH/BPLH dan Kementerian Iklim dan Lingkungan Norwegia.
Baca Juga: PBB Puji Indonesia Serahkan SNDC dan NAP di COP30, Jadi Contoh Nyata Aksi Iklim
“Kami memandang kerja sama ini bukan akhir, tetapi awal dari fase implementasi nyata. Indonesia ingin memastikan pasar karbon yang dibangun berintegritas tinggi, transparan, dan memberi manfaat langsung bagi masyarakat serta lingkungan,” ujar Menteri LH/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq dalam keterangan tertulis yang diterima, Minggu (16/11/2025).
Framework Agreement tersebut menjadi tonggak menuju penandatanganan Mitigation Outcome Purchase Agreement (MOPA) yang dijadwalkan pada akhir Desember 2025. Implementasi MOPA akan menjadikan Indonesia negara pertama di dunia yang menjalankan perdagangan karbon internasional berbasis Article 6.2, sekaligus memperluas mekanisme pasar karbon nasional ke sektor teknologi energi bersih.
Selama ini, kerja sama Indonesia–Norwegia lebih berfokus pada sektor Nature-Based Solutions (NBS) melalui skema Result-Based Contribution (RBC) bernilai hingga USD 260 juta untuk kinerja pengelolaan hutan Indonesia. Dengan langkah baru ini, Indonesia resmi memasuki fase perdagangan karbon berbasis teknologi sebagai diversifikasi mitigasi menuju transisi energi rendah karbon.
Baca Juga: Pertamina Jual 37 Ribu Ton Kredit Karbon di COP30 Brasil, Ini Pembelinya
“Kami mengapresiasi komitmen Norwegia yang bersedia menanggung Share of Proceeds sebesar lima persen untuk kegiatan adaptasi. Indonesia mengusulkan agar dana ini disalurkan melalui mekanisme Dana Iklim Nasional, sehingga pelaksanaannya lebih efektif dan sejalan dengan prioritas nasional,” ujarnya.
Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia, Andreas Bjelland Eriksen, menyatakan keyakinannya terhadap kesiapan Indonesia memimpin agenda perdagangan karbon berintegritas tinggi secara global.
“Bagi Norwegia, keberhasilan pelaksanaan program ini baru merupakan awal. Kami yakin langkah bersama ini akan membuka jalan bagi kolaborasi yang lebih luas di bidang teknologi dan investasi hijau. Indonesia telah membuktikan kesiapan dan kapasitas politiknya untuk memimpin inisiatif karbon berintegritas tinggi—sebuah sinyal kuat bagi para investor global dan pemerintah di seluruh dunia,” jelasnya.
Kerja sama tersebut memperkuat pesan Indonesia di forum COP30 mengenai kepemimpinan dalam transisi energi menuju Net Zero Emissions (NZE) 2060 atau lebih cepat. Pada sesi Leaders Summit, Utusan Khusus Presiden, Hashim Djojohadikusumo, menegaskan komitmen Presiden Prabowo Subianto mempercepat aksi iklim dengan pembangunan berkeadilan.
Dalam Second Nationally Determined Contribution (SNDC), Indonesia menargetkan penurunan emisi 1,2–1,5 gigaton CO₂e pada 2035, bauran energi terbarukan 23 persen pada 2030, serta pengembangan teknologi energi baru.
Baca Juga: Hadir di COP30, Pertamina Catat Transaksi Kredit Karbon Capai 37 Ribu Ton C02e dari PLTP dan PLTBg
“Indonesia datang ke Belém dengan pesan yang jelas: kami teguh memperkuat aksi iklim nasional dan siap bekerja sama dengan negara lain untuk mendorong inisiatif yang inklusif, ambisius, dan berorientasi hasil,” tegas Hashim.
Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo, memastikan kesiapan PLN menjalankan visi Presiden Prabowo melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034.
“Dalam sepuluh tahun ke depan, Indonesia akan menambah kapasitas pembangkit sebesar 69,5 gigawatt, dan sekitar 76 persen di antaranya berasal dari energi terbarukan dan teknologi penyimpanan energi,” ujar Darmawan.
RUPTL terbaru menjadi peta jalan percepatan transisi energi bersih menuju NZE 2060 atau lebih cepat, termasuk perluasan elektrifikasi di daerah 3T, penciptaan lapangan kerja hijau, dan penguatan ketahanan energi nasional.
Baca Juga: Bangun Budaya Zero Accident, PLN UIP JBT Intensifkan Pelatihan Penggunaan APAR
“Dengan mengedepankan energi terbarukan, PLN berkomitmen membangun sistem ketenagalistrikan yang lebih bersih, inklusif, dan berkelanjutan. Kami optimis target transisi energi Indonesia dapat tercapai, dengan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan dari sisi teknologi, pembiayaan, peningkatan kapasitas dan regulasi,” tutup Darmawan.
Kerja sama Indonesia–Norwegia melalui Framework Agreement PLN–GGGI ini menandai dimulainya perdagangan karbon internasional berbasis teknologi dari Indonesia, yang memperkuat posisi Indonesia sebagai penggerak pasar karbon berintegritas tinggi serta menegaskan peran KLH/BPLH dalam mengawal implementasi Article 6 menuju ekonomi hijau yang adil dan berkelanjutan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement