- Home
- /
- Kabar Sawit
- /
- Hot Issue
Sebanyak 59 Perusahaan Sawit di Kalteng Belum Bangun Plasma, Kepatuhan Perkebunan Dinilai Memprihatinkan
Kredit Foto: Uswah Hasanah
Kepatuhan perusahaan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah (Kalteng) terhadap kewajiban pembangunan kebun plasma kembali menjadi sorotan.
Laporan terbaru TuK Indonesia bersama Pusat Studi Agraria LRI Sosek IPB University menemukan bahwa sebagian besar perusahaan masih mengabaikan tanggung jawab sosial tersebut.
Dalam laporan yang dipaparkan di Jakarta, Selasa (18/11/2025), terungkap bahwa sebanyak 59 dari 185 perusahaan sawit di Kalteng, atau sekitar 32 persen, belum membangun kebun plasma sama sekali.
Padahal, kewajiban menyediakan kebun plasma telah diatur sejak dekade 1990-an melalui berbagai skema dan menjadi salah satu pilar hubungan antara perusahaan dan masyarakat.
Selain itu, 85 perusahaan lainnya hanya membangun kebun plasma dengan luasan kurang dari 20 persen dari kewajiban minimal sesuai regulasi.
Baca Juga: Minyak Sawit Akan Terus Mainkan Peran Kunci Sebagai Kekuatan Ekonomi RI
Temuan ini memperkuat dugaan bahwa kepatuhan perusahaan terhadap aturan plasma masih rendah dan cenderung tidak transparan.
Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik TuK Indonesia, Abdul Haris, mengungkapkan bahwa banyak perusahaan berdalih tidak memiliki kewajiban menyediakan plasma. Mereka mengklaim perizinan usaha terbit pada periode yang tidak tercakup oleh aturan plasma.
“(Mereka menganggap) perizinan mereka tidak terkait dengan tahun di mana berlakunya peraturan yang mewajibkan pembangunan plasma. Padahal kalau kami telusuri, regulasi tentang kewajiban plasma sudah ada sejak tahun 90-an,” ujar Haris.
Ia menilai rendahnya kepatuhan plasma menunjukkan lemahnya penegakan aturan dan rendahnya akuntabilitas perusahaan.
“Ini berdampak langsung pada masyarakat di sekitar perkebunan yang seharusnya mendapat manfaat ekonomi dari skema plasma,” tambahnya.
Plasma merupakan kewajiban yang mensyaratkan perusahaan perkebunan menyediakan sebagian dari areal konsesi untuk dikelola masyarakat sebagai mitra. Skema ini dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan petani, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi potensi konflik lahan.
Namun, temuan ini menunjukkan bahwa implementasi plasma justru masih jauh dari harapan. Minimnya transparansi perusahaan, lemahnya pengawasan, serta perbedaan interpretasi regulasi disebut menjadi faktor penyebab.
Haris menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kepatuhan plasma oleh pemerintah dan otoritas terkait.
“Tanpa kepastian dan pengawasan yang kuat, masyarakat akan terus dirugikan dan tujuan utama kebijakan plasma tidak akan tercapai,” katanya.
Baca Juga: Penggunaan Produk Kelapa Sawit Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca
Baca Juga: Mengenal Aspek Keberlanjutan Minyak Sawit
Laporan TuK Indonesia dan LRI Sosek IPB ini diharapkan dapat menjadi dasar pembenahan tata kelola perkebunan sawit, terutama dalam memastikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal sebagai penerima hak plasma.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement