Kredit Foto: Istimewa
Isu "dirty nickel" kini menjadi perbincangan hangat di forum international, laporan media global, hingga ruang diskusi kebijakan. Indonesia, yang merupakan produsen nikel terbesar di dunia, secara otomatis terimbas oleh stigma tersebut.
Namun, jauh dari hiruk-pikuk polemik tersebut, di Sorowako, Sulawesi Selatan, berdiri sebuah operasi tambang yang justru menunjukkan wajah berlawanan.
Di fasilitas PT Vale Indonesia Tbk, smelter bekerja bukan dengan bahan bakar batu bara, melainkan dengan energi bersih dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang bersumber dari aliran Sungai Larona, air yang berasal dari Danau Matano, Mahalona, dan Towuti. Di Sorowako, narasi "dirty nickel" terpatahkan oleh praktik nyata.
PT Vale Indonesia Tbk (Vale), anggota holding MIND ID, selama puluhan tahun membuktikan bahwa aktivitas pertambangan dapat berjalan tanpa merusak lingkungan, tanpa mengorbankan kualitas hidup masyarakat, dan tetap berorientasi pada keberlanjutan. Vale adalah bukit nyata bahwa stigma "nikel kotor" tidak dapat digeneralisasi.
Asal-Usul Stigma dan Generalisasi Isu Nikel
Indonesia saat ini berada di puncak industri nikel dunia. Neraca Sumber Daya dan Cadangan Mineral dan Batubara Indonesia per Desember 2024 yang dirilis oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa sumber daya nikel di Indonesia mencapai 6,74 millar ton dengan cadangan mencapai 3,13 millar ton.
United States Geological Survey (USGS) pun mencatat bahwa 42,3% cadangan nikel global berada di tanah Indonesia.
Sementara itu, International Nickel Study Group (INSG) menyebut bahwa lebih dari 61% pasokan nikel dunia pada 2024 berasal dari Indonesia, dan diproyeksikan meningkat menjadi lebih dari 63% pada 2025.

Alih-alih disambut sebagai peluang strategis, dominasi ini justru memicu kritik dari negara-negara Eropa dan lembaga internasional, terutama terkait standar lingkungan dan penggunaan energi fosil.
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menilai label yang digeneralisasi ini tidak tepat dan sarat persaingan bisnis.
Isu ini menguat setelah Indonesia resmi melarang ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020, sebuah kebijakan yang memicu ketegangan dengan Uni Eropa yang sebelumnya bergantung pada ore Indonesia.
Sejak saat itu, kritik terkait standar lingkungan, ekspansi tambang, hingga penggunaan batu bara di industri nikel Indonesia bermunculan. Sebagian analis komoditas mulai menggunakan istilah “dirty nickel” untuk membedakan nikel Indonesia dengan negara lain.

"Ada negara lain yang melakukan kampanye hitam terhadap pengelolaan sumber daya alam Indonesia, seolah-olah tidak ramah lingkungan. Ini harus kita kaji dan jeli... menurut saya ini adalah salah satu bentuk persaingan bisnis antarnegara," ungkap Bahili di Jakarta, Rabu (6/8/2025).
Analisis Google Trends

Analisis Google Trends atas pencarian istilah tersebut sebetulnya menunjukkan bahwa hanya ada dua periode yang menunjukkan peningkatan minat atasnya.
Pertama, antara pertengahan September hingga pertengahan Oktober 2024, dan, kedua, pertengahan Maret hingga akhir April 2025. Ini sebelumnya menunjukkan umur isu yang relatif pendek, namun tetap penting dan urgen diperhatikan karena dampaknya terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial, selain terhadap industri pertambangan dan pengolahan nikel di Indonesia.
Beberapa pakar sepakat bahwa generalisasi nikel Indonesia sebagai “kotor” merupakan penyederhanaan berlebihan.
Namun, Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengingatkan bahwa tekanan global, apa pun motifnya, perlu dimanfaatkan sebagai momentum penguatan tanggung jawab industri.
“Apa pun motivasinya, kritik harus memicu perbaikan tanggung jawab industri,” ujarnya kepada Warta Ekonomi, Minggu (20/11/2025).
Sejalan dengan itu, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi, Dwi Sawung, menegaskan bahwa Good Mining Practices harus menjadi standar industri pertambangan nikel di Indonesia.
“Ikuti aturan dan standar good mining practice. Jangan merampas lahan masyarakat,” katanya kepada Warta Ekonomi, Minggu (20/11/2025).
Maka, di tengah tuntutan praktik pertambangan yang baik, PT Vale Indonesia berdiri sebagai anomali, memberikan bukti nyata bahwa standar keberlanjutan tertinggi dapat dicapai.
PT Vale: Anomali di Tengah Stigma

Praktik operasional Vale Indonesia secara fundamental membedakannya dari narasi dirty nickel yang beredar. Pakar keberlanjutan sekaligus Co-Founder A+ CSR Indonesia, Jalal, menyebut kampanye tersebut tidak bisa disematkan pada Vale.
“Vale secara faktual tidak dapat dicap sebagai bagian dari ‘dirty nickel’ jika definisinya mengacu pada tingginya emisi karbon atau masalah lingkungan. Mereka sangat berbeda secara operasional dan sudah mendapat banyak pengakuan, baik nasional maupun internasional,” ujarnya kepada Warta Ekonomi, Minggu (19/11/2025).
Pengakuan ini diperkuat oleh komitmen Vale terhadap transparansi tata kelola (Governance). Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey, menilai Vale sebagai salah satu pemain nikel terintegrasi terbaik dari sisi Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG). Vale secara sukarela menjalani audit pihak ketiga berstandar IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance). Bahkan, Vale siap menjalani audit IRMA tahap kedua akhir tahun ini.
Langkah ini diapresiasi oleh Deputi Direktur IRMA, Rebecca Burton, di Indonesia International Sustainability Forum (IISF) 2025.
“Ini merupakan langkah kepemimpinan yang sangat besar. Kami menghargai keberanian Vale memiliki transparansi dan perbaikan berkelanjutan sebagai inti operasinya,” ujarnya di IISF 2025, Jakarta, Jumat (10/10/2025).
Selain itu, Vale merupakan salah satu perusahaan awal di Indonesia yang menjadi anggota ICMM (International Council on Mining and Metals), organisasi terkemuka dengan komitmen kuat terhadap keberlanjutan.
Konsistensi ini membuat Vale menjadi contoh praktik pertambangan yang baik, sebagaimana diakui oleh pemerintah.
"Saya melihat begitu dalamnya investasi lingkungan yang dilakukan tanpa menghentikan tingkat produksinya. Komitmen lingkungan tetap dijaga walaupun produksi menurun. Ini bukan sekadar pujian, tetapi berdasarkan dokumen yang saya lihat dan hasil kunjungan langsung ke Sorowako," ujar Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, di Jakarta, Jumat (29/8/2025).

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara KESDM, Tri Winarno, juga mengakui hal serupa. “Perusahaan tambang di bawah MIND ID oke,” katanya di IISF 2025, Jumat (10/10/2025).
Keunggulan operasional ini bersumber dari satu pondasi utama yang membedakan Vale dari industri nikel lainnya.
Menambang dengan Air: Jejak Hijau Terpenting Vale
Perbedaan paling signifikan Vale dengan sebagian besar pemain nikel global terletak pada sumber energi yang digunakan dalam proses smelting.
Saat mayoritas industri nikel global bergantung pada PLTU batu bara, Vale mengoperasikan tiga PLTA: Larona (3 x 55 MW), Balambano (2 x 55 MW), dan Karebbe (2 x 45 MW), menghasilkan total 365 Mega Watt.
Seluruh listrik untuk smelter Sorowako disuplai oleh energi terbarukan, menjadikannya operasi nikel berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) terbesar di Indonesia.
Direktur Utama PT Vale Indonesia, Bernardus Irmanto, menjelaskan bahwa penggunaan energi bersih ini menurunkan intensitas emisi Vale hingga 28,7 tCO₂ per ton nikel, angka terendah di antara perusahaan nikel terdaftar di Indonesia.
“Vale menghasilkan sekitar 365 MW listrik dari tenaga air. Seluruh aktivitas smelting kami menggunakan energi PLTA, 100% energi terbarukan,” tegas Bernardus di IISF 2025, Jumat (10/10/2025).

Penggunaan PLTA juga terbukti lebih efisien secara biaya. Biaya listrik dari PLTA hanya sekitar US$1 sen/kWh, jauh di bawah listrik berbasis batu bara yang mencapai US$5 sen/kWh.
“Artinya, ketika kita berbuat baik terhadap lingkungan, kita sekaligus berbuat baik bagi perusahaan,” sambung Bernardus.
Hal ini menempatkan Vale sebagai salah satu produsen clean nickel paling kredibel di kawasan.
Reklamasi dan Pengelolaan Air: Melampaui Standar Industri
Komitmen keberlanjutan Vale tidak hanya berfokus pada energi, tetapi juga pada praktik pengelolaan lahan dan air yang ketat.
Vale menerapkan konsep konservasi prapenambangan dan pengelolaan lahan yang bertanggung jawab. Senior Engineering Operation Vale, Enos, menjelaskan bahwa kegiatan ini dilakukan sebelum eksploitasi dimulai.
“Di dalam tahap operasional ini sebelum dilakukan, Vale itu melakukan konservasi perpenambangan. Jadi area yang akan ditambang, tim kita masuk dulu untuk mendata lokal endemik, baik itu tanaman maupun hewan yang ada di situ. Jadi diambil bijinya nanti disematkan di nursery dari sana, yang nantinya akan digunakan saat reklamasi,” ujarnya di Sorowako, Selasa (21/10/2025).
Dengan pendekatan ini, Manajer Reklamasi Vale, Charles, mencatat bahwa per April 2025, Vale telah mereklamasi kurang lebih 60% atau setara 3.819 hektar (ha) dari total 5.969 lahan yang dibuka.
Rasio lahan reklamasi dan bukan areal produksi tambang akan terus dipertahankan di kisaran 55–60 persen.
“Kami ingin reklamasi tidak sekadar comply, tetapi beyond compliance. Target jangka panjangnya: kawasan reklamasi menjadi pusat konservasi, riset, dan memberi nilai tambah bagi masyarakat,” tutup Charles.

Charles juga menyebut Vale mengalokasikan belanja modal reklamasi yang mencapai Rp350 juta hingga Rp680 juta per hektar. Jumlah ini disebut menjadi yang terbesar di antara perusahaan tambang sejenis sebagai wujud komitmen perusahaan pada praktik pertambangan berstandar Environmental, Social, and Governance (ESG) sekaligus Good Mining Practices (GMP).
“Kalau mau dibandingkan dengan perusahaan lain, saya yakin tidak ada yang sebesar Vale untuk kelas nikel, khususnya untuk anggaran reklamasi,” ujar Charles saat menerima kunjungan media di Sorowako, Sulawesi Selatan, Selasa (21/10/2025).
Air yang Dikembalikan Sebagaimana Adanya
Untuk menjamin tidak ada kontaminasi, Supervisor Mine Infrastructure Vale, Fajrin, mengatakan bahwa Vale mengoperasikan lebih dari 126 sediment pond atau kolam pengendapan. Sistem pengolahan air diperkuat dengan Lamella Gravity Settler Unit Treatment sejak 2016.
“Semua air yang keluar dari site harus dijamin kembali seperti kondisi awal. Tidak boleh ada kontaminasi dari aktivitas tambang,” ujarnya.

Keselamatan dan Tata Kelola Sosial
Aspek keselamatan kerja dan kontribusi sosial juga menjadi pembeda signifikan Vale. Keselamatan di Vale ditanamkan sebagai budaya yang tertuang dalam nilai CARES (Compassion, Accountability, Resilience, Excellence, Sustainability).
Sebagaimana diketahui, isu kecelakaan kerja sering menjadi sorotan di industri nikel Indonesia. Namun, Vale mencatat rekor luar biasa pada 2024 di mana lebih dari 13,3 juta jam kerja tanpa satu pun fatalitas di seluruh area proyek.
Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya, mengapresiasi kinerja ini dan menyebut perusahaan sebagai barometer.
“Vale, PROPER-nya emas, sangat baik dalam tata pertambangan dan kelola sosial. Saya pikir mereka zero accident,” tegasnya saat ditemui Warta Ekonomi, di Minerba Convex 2025.
Meningkatkan Hidup Masyarakat
Komitmen sosial Vale diimplementasikan melalui Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM).
“Hidup berdampingan dengan masyarakat bukan sekadar kepatuhan terhadap standar IFC. Itu sudah menjadi DNA perusahaan,” ungkap Bernardus.
Anggaran PPM disalurkan di wilayah Sorowako, Pomalaa, dan Bahodopi, dengan anggaran USD 6,38 juta pada 2022, USD 5,57 juta pada 2023, dan USD 4 juta pada 2024.
Program ini mencakup pemberdayaan UMKM, pendidikan, kesehatan, hingga pelatihan generasi muda.
Tata kelola perusahaan turut mendapat pengakuan. Skor ASEAN Corporate Governance Scorecard Vale melonjak menjadi 98,68% pada 2023, salah satu yang tertinggi di Indonesia.
Bahkan, Vale mampu menurunkan skor ESG rating di tahun ini ke angka 23,7. Angka ini mencerminkan kemajuan luar biasa di mana Vale mampu memangkas -5,7 poin dalam waktu kurang dari satu tahun dari sebelumnya pada skor 30,5.
Transformasi Menuju Net Zero
Komitmen Vale tidak berhenti pada capaian hari ini, melainkan merangkul visi dekarbonisasi jangka panjang menuju 2050. Chief Strategy and Technical Officer, M. Siamet Sugiharto, menjelaskan target agresif perusahaan.
“Kami memiliki komitmen dekarbonisasi agresif, 32% penurunan intensitas karbon pada 2030 dan Net Zero Emission pada 2050,” ujarnya dalam Minerba Convex di Jakarta 2025.
Inovasi terus dilakukan, termasuk penggunaan battery electric dump truck dan instalasi environmentally friendly conveyor.
Pada akhirnya, operasi Vale di Sorowako menjadi antitesis paling kredibel terhadap stigma dirty nickel.
Perusahaan ini membuktikan bahwa praktik pertambangan berkelanjutan dengan etika, kehati-hatian, dan visi jangka panjang adalah mungkin.
“Tidak ada masa depan tanpa tambang, dan tidak ada tambang tanpa kepedulian terhadap masa depan,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement