Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

USD 600 Juta Siap Mengalir: Kemenperin Bangun Mesin Pendanaan Hijau untuk Industri

USD 600 Juta Siap Mengalir: Kemenperin Bangun Mesin Pendanaan Hijau untuk Industri Kredit Foto: Rahmat Dwi Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) resmi memperkenalkan dua instrumen pendanaan hijau terbaru, Green Industry Service Company (GISCO) dan Industrial Decarbonization & Competitiveness Facility (IDCF). 

Keduanya dirancang untuk menjawab tantangan utama industri nasional yang ingin menurunkan emisi, tetapi menghadapi keterbatasan modal dan risiko investasi yang tinggi.

Kepala Pusat Industri Hijau Kemenperin, Apit Prianugraha, menjelaskan bahwa transformasi industri menuju model rendah karbon membutuhkan biaya yang tidak kecil, sementara banyak perusahaan belum memiliki kapasitas pendanaan tersebut. 

Karena itu, GISCO dan IDCF disusun sebagai mekanisme komprehensif yang memungkinkan industri melakukan dekarbonisasi tanpa harus mengeluarkan modal awal. 

Baca Juga: Kemenperin Kolaborasi Cipatakan Wirausaha Fesyen Berkelanjutan

“Kami harus memastikan industri bisa nurunin emisi tanpa menurunkan daya saing. Artinya industrinya tidak boleh keluar duit,” ujar Apit dalam Energy Outlook yang diselenggarakan oleh Warta Ekonomi, Kamis (4/12/2025).

GISCO diposisikan sebagai perusahaan jasa industri hijau yang menyediakan satu paket layanan lengkap mulai dari penyediaan teknologi, implementasi, operasi, pemeliharaan, hingga pengukuran dan verifikasi emisi. 

Investasi awal untuk pemasangan panel surya, retrofit efisiensi energi, modernisasi proses produksi, atau substitusi bahan bakar semuanya ditanggung oleh GISCO melalui pembiayaan yang dialirkan dari IDCF. 

Industri baru membayar setelah proyek menghasilkan penghematan operasional, sehingga risiko dan beban finansial tidak muncul di depan.

Baca Juga: Kemenperin Ungkap Indonesia Belum Miliki Carbon Budget, Dekarbonisasi Jalan Tanpa Kompas

Model bisnis GISCO disusun fleksibel untuk menyesuaikan karakter industri. Skema guaranteed savings memungkinkan GISCO menjamin tingkat penghematan tertentu sehingga risiko performa ada pada penyedia layanan. Pada skema shared savings, penghematan dibagi antara GISCO dan industri selama masa kontrak. 

Selain itu, tersedia model leasing dan efficiency-as-a-service yang memungkinkan industri membayar berdasarkan performa layanan, bukan nilai aset atau teknologinya. Pendekatan ini menghilangkan kebutuhan industri mengajukan pinjaman besar atau meningkatkan CAPEX secara signifikan.

Melalui IDCF, pemerintah membangun platform pendanaan yang berfungsi sebagai penghubung antara kebutuhan investasi kecil hingga menengah dari industri dan ketersediaan dana berskala besar dari lembaga pendanaan internasional. 

Menurut Apit, kesenjangan ini selama bertahun-tahun menjadi hambatan utama pembiayaan aksi hijau di sektor manufaktur. 

“Tantangan terbesar pendanaan hijau adalah mismatch antara demand dan supply. Banyak industri butuh investasi kecil hingga menengah untuk aksi dekarbonisasi, tetapi lembaga pendanaan internasional hanya mau menyalurkan dana dalam skala besar,” ujarnya.

Baca Juga: Percepat Transformasi Industri Hijau, Kemenperin Perkuat Kemitraan dengan UNIDO

IDCF telah diajukan dalam dokumen Blue Book 2025–2029 dengan nilai maksimal USD 600 juta. Dana ini diproyeksikan berasal dari World Bank dan mitra internasional lainnya. 

Selain membiayai investasi teknologi rendah karbon, IDCF juga menyediakan skema asuransi dan guarantor untuk mengantisipasi risiko gagal bayar akibat faktor eksternal, termasuk volatilitas ekonomi global. Struktur ini dibuat agar proyek-proyek industri tetap bankable dan menarik bagi investor swasta.

Dorongan pembiayaan hijau dalam skala besar menjadi penting mengingat proyeksi emisi sektor manufaktur dapat meningkat dua kali lipat pada 2050 jika tidak ada intervensi. 

Kebutuhan teknologi untuk mendukung dekarbonisasi juga diperkirakan melonjak, termasuk kebutuhan 183 GW energi surya, 3,85 juta ton hidrogen hijau, serta jutaan ton biomassa. 

Indonesia membutuhkan platform pendanaan yang agresif dan adaptif untuk memastikan transformasi industri berjalan seiring dengan target net zero emission 2050.

Baca Juga: Kemenperin Genjot Industri Alat Olahraga Nasional, Targetkan Indonesia Jadi Produsen Kelas Dunia

Apit menegaskan bahwa skema GISCO dan IDCF bukan hanya alat untuk mengejar target penurunan emisi, tetapi juga fondasi baru bagi daya saing industri nasional di tengah pasar global yang semakin ketat terhadap jejak karbon produk. 

“GISCO dan IDCF adalah fondasi baru yang, jika berhasil, dapat menjadi model inovatif untuk negara lain yang menghadapi tantangan serupa,” katanya.

Dengan pendekatan ini, Kemenperin ingin memastikan bahwa dekarbonisasi bukan lagi beban, tetapi peluang. Melalui pembiayaan yang terstruktur, risiko yang terukur, dan model bisnis yang lebih adaptif, industri Indonesia dapat bertransformasi menuju produksi rendah karbon tanpa mengorbankan margin maupun daya saing. 

Skema ini sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia tidak sekadar mengikuti tren global, tetapi mulai membangun arsitektur pendanaan hijau yang relevan dan kompetitif untuk jangka panjang.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo

Advertisement

Bagikan Artikel: