Idrus Marham Sarankan Jalan Tengah Konstitusional untuk PBNU, Redam Konflik dengan Muktamar NU Sebelum Juni 2026
Kredit Foto: Ist
Anggota Majelis Penasehat Organisasi (MPO) IKA PMII, Idrus Marham, menegaskan bahwa gejolak yang kini terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak boleh dibiarkan menjadi arena perebutan kuasa segelintir elite.
Idrus menilai konflik internal yang kian mengeras merupakan sinyal bahwa nilai “kepemilikan bersama” warga NU tengah tergerus oleh logika fraksionalisme dan manuver kelompok tertentu.
“NU itu milik rakyat, milik warga NU, bukan milik satu kelompok kecil,” ujar Idrus.
Idrus mengingatkan bahwa NU sejak awal dibangun sebagai “gerakan pemikiran” dan keagamaan sebagai reaksi terhadap gerakan pemikiran dan keagamaan yang ada oleh para kiai, pesantren, dan struktur akar rumput yang menjadikan jam’iyah ini sebagai RUMAH BESAR UMMAT dan BANGSA.
Karena itu, menurutnya, setiap dinamika harus dikembalikan ke mekanisme konstitusional, bukan pada adu kekuatan antar-elite.
Dinamika Yahya Cholil Staquf dan Evaluasi Kepengurusan
Merespons pemberitaan terkait sikap KH Yahya Cholil Staquf yang disebut “belum menyerah” usai dinonaktifkan, Idrus menilai hal itu wajar dan dapat dipahami sebagai bentuk protes KH. Yahya Staquf atas keputusan Surya NU yang dianggapnya tidak adil.
“Sikap Yahya Stakuf bisa dipahami sebagai bentuk protes, Kenapa yang dinonaktifkan hanya ketua umumnya, sementara Sekjen Saifullah Yusuf justru terkesan dilindungi. Ini menimbulkan rasa ketidakadilan,” kata Idrus.
Hal ini diperkuat langkah Yahya Staquf, meskipun sudah dinonaktifkan, tapi tetap melakukan reposisi terhadap jabatan sekjen dan bendahara umum, ini merupakan reaksi dari tindakan yang dinilainya sepihak tersebut.
Situasi itu, kata Idrus, menunjukkan perlunya evaluasi komprehensif terhadap arah dan pengelolaan PBNU saat ini.
Idrus menyebut terdapat indikasi pergeseran nilai dari nilai khittah organisasi ke kepentingan praktis–pragmatis, termasuk dugaan distribusi kuasa dan pemanfaatan sumber daya organisasi untuk kepentingan oknum tertentu.
Tanggapan Idrus terhadap KH Said Aqil: Masalahnya Bukan IUP-nya, tetapi Pengelolaannya
Menanggapi pernyataan KH Said Aqil Siroj soal konsesi tambang (IUP) yang diberikan pemerintah kepada PBNU, Idrus menegaskan bahwa akar persoalannya bukan terletak pada IUP itu sendiri.
“Masalah PBNU bukan pada IUP-nya, tetapi pada pengelolaannya. Pemerintah justru patut diapresiasi karena memberi perhatian.
Yang bermasalah adalah ketika aset organisasi dikelola untuk kepentingan pribadi, langsung ataupun tidak langsung,” tegas Idrus.
Menurutnya, isu IUP hanya menjadi pemantik karena di dalam tubuh organisasi memang sudah terjadi pergeseran nilai dan tata kelola.
Usul Jalan Tengah: Kembalikan Muktamar ke jadwal Sebelum COVID- Paling Lambat Juni 2026
Idrus mendorong PBNU segera menggelar muktamar mengembalikan penjadwalan yang semula bergeser saat pandemi.
“Muktamar Lampung diundur enam bulan karena COVID. Maka, secara logika, sekarang harus dimajukan kembali enam bulan. Artinya, proyeksi muktamar paling lambat Mei–Juni 2026,” ujar Idrus.
Baginya, MUKTAMAR adalah WASATHIYAH - jalan tengah yang paling konstitusional untuk:
- meredam konflik,
- menyatukan kembali warga NU,
- mengevaluasi kepemimpinan dan kepengurusan,
- dan mengembalikan NU ke khittah organisasi serta nilai dasar para pendirinya.
Seruan Moral: Hentikan Manuver Elite, Kembalikan NU sebagai Rumah Besar Ummat
Idrus berharap dan meminta para pemangku kepentingan, dari kiai sepuh hingga pengurus, menahan diri dari manuver politik yang berpotensi memperlebar jurang perpecahan. Ia mendorong dialog kekeluargaan, transparansi, serta komitmen moral dalam menghadapi dinamika.
“Konflik ini jangan sampai merusak kepercayaan publik dan jamaah. NU harus kembali menjadi RUMAH BESAR yang mempersatukan umat,” ujarnya.
Dengan desakan tersebut, diharapkan polemik internal PBNU dapat menjadi momentum introspeksi sekaligus memperkuat marwah organisasi sebagai pilar kebangsaan, pungkas Idrus
Idrus menyerukan agar seluruh pemangku kepentingan, kiai sepuh, para struktur, dan elite PBNU, menahan diri dari langkah-langkah taktis yang justru memperlebar jurang perpecahan.
Idrus menutup dengan menegaskan bahwa krisis ini seharusnya menjadi momentum pembenahan, bukan pembelahan, momentum mengembalikan NU ke rel perjuangan, bukan rel kepentingan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement