Gakoptindo Siap Luncurkan Mesin Baru Produksi Tahu dan Tempe, Hemat Energi Hingga 52%
Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Pertumbuhan industri tempe dan tahu saat ini menunjukkan tren positif, namun, di balik pertumbuhan tersebut, tantangan utama yang harus dijaga adalah kualitas produksi, efisiensi biaya, serta keberlanjutan rantai pasok bahan baku kedelai.
Oleh karenanya, menurut Wibowo Nurcahyo, Sekjen Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo), memasuki tahun 2026, Gakoptindo menyusun beberapa program strategis, di antaranya mempersiapkan pabrik tempe tahu yang bersih, higienis, layak, dan hemat energi.
Dijelaskanya bahwa salah satu kendala utama para perajin tahu tempe adalah biaya produksi, khususnya energi bahan bakar. Oleh karenanya, Gakoptindo telah menyiapkan mesin produksi baru yang mampu menghemat energi hingga 52 %. Mesin tersebut direncanakan akan diluncurkan pada Mei 2026 di Yogyakarta.
"Efisiensi ini diharapkan mendorong peningkatan kapasitas produksi para perajin tanpa harus menaikkan harga jual. Selain modernisasi pabrik, Gakoptindo juga menyiapkan program penciptaan wirausaha baru produk turunan tempe dan tahu."
Wibowo menilai regenerasi perajin menjadi persoalan serius karena banyak anak perajin yang enggan melanjutkan usaha keluarga. Padahal, produk turunan kedelai itu jauh lebih menguntungkan. “Kami ingin menciptakan ekosistem baru, minimal 100 wirausaha baru yang akan dilatih dan dipantau melalui program inkubator,” katanya.
Pasokan Kedelai dan Stabilitas Harga Harus Tetap Terjagaahun
Program ketiga yang menjadi perhatian Gakoptindo berkaitan langsung dengan penyediaan pasokan tempe dan tahu untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Gakoptindo akan menyiapkan pabrik-pabrik yang layak dan memenuhi standar untuk masuk ke rantai pasok MBG. Sejalan dengan itu, program keempat difokuskan pada dukungan terhadap penggunaan kedelai lokal untuk MBG guna mendukung program Asta Cita Presiden Prabowo. “Kedelai lokal itu non-GMO. Oleh karenanya, bahan baku tempe dan tahu untuk MBG harus yang terbaik. Saat ini pilihannya adalah kedelai lokal,” ujar Wibowo.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa produksi kedelai lokal saat ini belum mencukupi. Dalam setahun, kebutuhan kedelai nasional mencapai sekitar 2,9 juta ton, sementara serapan dari kedelai lokal tidak sampai 100 ribu ton. “Dengan kondisi seperti ini, tidak mungkin kita menutup keran impor. Itu hal yang tidak realistis,” tegasnya.
Perlu Segmentasi Pasar Kedelai Lokal dan Impor
Meskipun saat ini pemerintah tengah menggalakkan swasembada pangan, di antaranya kacang kedelai, Indonesia masih membutuhkan kedelai impor untuk menjaga stabilitas harga, mencegah inflasi dan memastikan pasokan pangan berbasis kedelai tetap terjaga di tengah meningkatnya kebutuhan dalam negeri.
Wibowo mengungkapkan, di beberapa daerah sudah mulai terjadi kenaikan harga tahu tempe, serta kesulitan pasokan. “Kalau ini tidak kita kendalikan sejak awal, dan program-program MBG ini terus berjalan hingga 2045, kita bisa kekurangan kedelai dan memicu inflasi,” katanya.
Untuk itu, Gakoptindo mendorong strategi segmentasi pasar kedelai. Kedelai impor diarahkan untuk konsumsi masyarakat umum agar harga tetap terjangkau, sementara kedelai lokal difokuskan untuk
program MBG, termasuk produksi susu kedelai non-GMO. “Segmentasinya harus jelas supaya tidak saling mengganggu. Susu kedelai untuk MBG pakai lokal, sedangkan kedelai impor untuk pasar umum,” ujarnya.
Ia menambahkan, komunikasi dengan para importir sejauh ini berjalan baik. Gakoptindo, kata dia, berada di posisi menjaga stabilisasi rantai pasok, baik dari serapan kedelai lokal maupun impor. “Kami mendukung program pemerintah karena itu perintah negara, dan di sisi lain kami juga menjaga hubungan baik dengan importir. Kebijakan impor seperti apa nanti, itu ranah pemerintah,” tuturnya.
Di tengah kebutuhan yang terus meningkat, Wibowo mengingatkan bahwa tempe dan tahu merupakan sumber protein yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Rata-rata konsumsi tempe di setiap rumah tangga mencapai 1,5 kilogram per bulan, sementara tahu sekitar 1,7 hingga 1,8 kilogram per bulan. Stabilitas pasokan kedelai menjadi kunci ketahanan pangan nasional.
“Intinya, kami ingin semua pihak aman dan nyaman. Kedelai lokal kita fokuskan pada segmen tertentu, impor tetap berjalan untuk menjaga harga dan pasokan. Dengan strategi ini, inflasi bisa ditekan dan kebutuhan dalam negeri tetap bisa terpenuhi,” pungkas Wibowo.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sufri Yuliardi
Editor: Sufri Yuliardi
Advertisement