Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dilema RI: 'Banjir' Solar di Tengah Ambisi B50, Berkah atau Bencana?

Dilema RI: 'Banjir' Solar di Tengah Ambisi B50, Berkah atau Bencana? Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah Indonesia tengah berada di persimpangan jalan yang krusial terkait masa depan ketahanan energi nasional. Di satu sisi, ambisi hilirisasi melalui program mandatori Biodiesel B50 terus dipacu. Namun di sisi lain, bayang-bayang kerusakan lingkungan dan fenomena "banjir solar" di dalam negeri kini menjadi ancaman nyata yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Surplus Solar: 'Pedang Bermata Dua'

Langkah berani pemerintah menaikkan kadar campuran bahan bakar nabati (BBN) ke dalam solar mulai menunjukkan dampak teknis yang kompleks. Senior Director Oil and Gas, Petrochemical BPI Danantara Indonesia, Wiko Migantoro, mengungkapkan bahwa penerapan B40 saja sudah memicu surplus solar yang masif.

"Dengan diterapkan B40, kita memiliki kapasitas yang lebih untuk solar. Atau sekitar, kalau saya hitung-hitung tuh jumlahnya sekitar 7 juta kiloliter (kl) excess solar," ujar Wiko dalam acara Rembuk Energi dan Hilirisasi 2025 di Jakarta, Rabu (10/12/2025).

Baca Juga: Indonesia Tak Lagi Impor Solar Mulai 2026, Surplus 4 Juta Ton Akan Diubah Menjadi Avtur

Wiko menjelaskan dilema ini bersumber dari karakteristik pengolahan minyak mentah (crude oil) di kilang. "Ketika memproduksikan suatu produk dari crude oil, kamu tidak bisa memilih 'ini untuk produksi gasoline saja' atau 'solar saja'. Sekali crude oil diolah, kilang akan menghasilkan empat produk utama secara bersamaan," tambahnya.

Artinya, saat Indonesia berusaha meningkatkan produksi bensin (gasoline) untuk menekan impor, secara otomatis produksi solar pun ikut melonjak. Jika permintaan domestik sudah terpenuhi oleh Biodiesel, maka solar hasil produksi kilang BUMN terancam tak terserap.

Kontradiksi Impor Swasta

Kondisi ini semakin ironis karena di saat BUMN mengalami kelebihan pasokan, sektor swasta justru masih gemar berbelanja ke luar negeri.

Baca Juga: Imbas Mandatori Biodiesel, Indonesia 'Kelebihan' Produksi Solar 7,4 Juta KL

"Di saat kita sekarang sedang ada kelebihan kapasitas produksi untuk kilang, di saat yang bersamaan badan usaha swasta itu masih melakukan impor solar. Jumlahnya sekitar 4,8 juta kiloliter," ungkap mantan Wakil Direktur Utama Pertamina tersebut.

Sinyal Bahaya dari Akademisi: "Harus Mulai Ngerem!"

Ambisi pemerintah untuk melompat ke B50 pada tahun depan juga mulai mendapat resistensi dari kalangan akademisi. Ketua Pusat Kajian Ketahanan Energi UI (Puskep UI), Ali Ahmudi, yang sebelumnya vokal mendukung biodiesel, kini mulai menunjukkan sikap skeptis demi kelestarian lingkungan.

"Kalau bulan lalu bicara seperti ini, saya masih berpikir 'Oh ini visi yang bagus'. Tapi hari ini, saya berpikir bahwa ini jadi berbahaya," tegas Ali kepada Warta Ekonomi, Rabu (17/12/2025).

Ia menyoroti risiko ekspansi lahan sawit besar-besaran yang akan mengancam ekosistem hutan di Sumatera dan Kalimantan. Menurutnya, surplus energi tidak akan berarti jika harus dibayar dengan kerusakan alam.

Baca Juga: Tekno Fluida Indonesia Gelar Workshop Biodiesel B40/B50, Bahas Risiko Teknis hingga Solusi Pemeliharaan Kualitas

"Apa artinya surplus dari sisi energi tapi kacau secara lingkungan hidup. Itu perlu ditata ulang menurut saya, kaitannya dengan masalah program B50 dan seterusnya. Kalau kemudian ternyata berdampak besar terhadap kelestarian hutan, ya nanti dulu lah," pungkasnya.

Jawaban Pemerintah: Konversi Menjadi Avtur

Menanggapi isu surplus yang membayangi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia membawa angin segar. Pemerintah berencana melakukan manuver strategis dengan mengonversi kelebihan solar tersebut menjadi bahan bakar pesawat atau avtur.

Bahlil memastikan bahwa mulai tahun 2026, beroperasinya proyek Refining Development Master Plan (RDMP) Balikpapan akan menambah kapasitas produksi solar hingga 100.000 barel per hari.

Baca Juga: Kilang Pertamina: RDMP Balikpapan Akan Jadi Solusi Kebutuhan Energi di Indonesia

"Mulai tahun depan Indonesia tidak lagi melakukan impor solar. Kita lagi berpikir, kalau memang kita mau dorong ke B50, maka jumlah solar yang surplus kurang lebih sekitar 4 juta ton itu kita akan konversi untuk membuat produk avtur," jelas Bahlil di Istana Negara, Senin (15/12/2025).

Dengan strategi ini, pemerintah optimistis Indonesia tidak hanya akan mencapai swasembada solar, tetapi juga mulai mandiri dalam produksi avtur pada tahun 2026. "Insyaallah solar kita sudah clear, avtur-nya juga bisa kita produksi dalam negeri," tegas Bahlil.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo

Advertisement

Bagikan Artikel: