Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

APVI Desak Gubernur DKI Tinjau Ulang Raperda KTR, Dinilai Berisiko Sosial dan Ekonomi

APVI Desak Gubernur DKI Tinjau Ulang Raperda KTR, Dinilai Berisiko Sosial dan Ekonomi Kredit Foto: Delta Sukses Teknologi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tahapan harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DKI Jakarta di Kementerian Dalam Negeri memicu kekhawatiran bagi masyarakat dan pelaku usaha kecil. Kebijakan ini dinilai berpotensi menghambat aktivitas ekonomi di tingkat bawah, sebagaimana disampaikan oleh berbagai pihak mulai dari pedagang pasar hingga ekonom. Munculnya kegelisahan ini didasari oleh kekhawatiran akan dampak regulasi terhadap stabilitas ekonomi di level akar rumput.

Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Budiyanto, menyatakan bahwa setiap regulasi pengendalian konsumsi seharusnya memperhatikan asas proporsionalitas. Ia berpendapat bahwa draf Raperda KTR yang tengah diproses saat ini memiliki risiko sosial yang signifikan jika tetap dipaksakan tanpa evaluasi mendalam. APVI menekankan perlunya keseimbangan antara tujuan kesehatan masyarakat dengan perlindungan terhadap keberlangsungan usaha.

“APVI mendukung sepenuhnya regulasi yang melindungi anak-anak. Meski demikian, rancangan Perda juga jangan sampai mematikan pelaku UMKM dan menutup akses bagi konsumen dewasa. Selain itu, Perda jangan sampai memicu semakin maraknya peredaran produk ilegal. Itu sebabnya kami mohon Gubernur dan DPRD untuk meninjau ulang Perda DKI sebelum disahkan” ujar Budiyanto.

Baca Juga: Pelaku Ritel dan UMKM Kritik Raperda KTR DKI Jakarta Dinilai Berpotensi Ancam Daya Beli

APVI menilai beberapa ketentuan Raperda justru menciptakan insentif negatif yang mendorong peredaran barang ilegal. Larangan pajangan produk, pelarangan promosi secara absolut, serta pembatasan radius 200 meter dari seluruh jenis satuan pendidikan, termasuk lembaga kursus non-formal yang tersebar di area komersial, akan mempersulit keberadaan ritel legal. Ketika jalur distribusi legal ditekan, pasar akan bergeser ke produk tanpa cukai dan tidak memenuhi standar keamanan.

APVI menilai hal ini selaras dengan analisis para ekonom independen yang telah diberitakan, termasuk dari INDEF yang menyebut bahwa rencana pengaturan ini dapat mengancam pedagang kecil dan memperlebar ruang bagi perdagangan tidak resmi.

Pembatasan yang terlalu luas dan tanpa diferensiasi kategori pendidikan formal dan non-formal akan membuat ruko komersial serta pasar tradisional otomatis masuk kedalam larangan zonasi penjualan 200 meter. Hal ini menghilangkan akses penghidupan ribuan pedagang kecil yang saat ini berada dalam masa pemulihan ekonomi.

Selain itu, larangan total pemajangan dan komunikasi produk membuat konsumen dewasa kehilangan hak untuk mengetahui legalitas dan perbedaan produk. Kondisi ini bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen dan secara tidak langsung memperbesar pasar gelap yang tidak terkontrol.

Baca Juga: Asosiasi Hotel dan Pedagang Pasar Desak Penundaan Raperda KTR DKI, Dinilai Merugikan Sektor Usaha

APVI menilai proses penyusunan kebijakan perlu mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam merumuskan pembatasan berbasis bukti, harmonisasi dengan aturan nasional dengan tetap mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat setempat, mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi secara menyeluruh terhadap UMKM dan masyarakat serta memitigasi risiko akan maraknya produk tembakau ilegal.

“Kami memohon perlindungan kepada Bapak Gubernur dan meminta agar proses harmonisasi diperhatikan secara seksama. Kami juga berharap DPRD membuka ruang dialog lintas pemangku kepentingan sebelum Perda ini ditetapkan. Jakarta tidak boleh menjadi episentrum pasar ilegal hanya karena regulasi yang disusun tanpa penilaian risiko sosial yang memadai” tambah Budiyanto.

APVI menyambut baik pernyataan sejumlah anggota DPRD yang dalam pemberitaan menyebut bahwa ruang aspirasi publik masih terbuka, dan berharap forum tersebut dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan berbasis bukti yang melindungi masyarakat secara proporsional.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: