Banjir Berulang di Sumatera, Kemenhut Didesak Buka Nama Perusahaan Perusak Hutan
Kredit Foto: Kemendikbud
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Freedm Of Information Network Indonesia (FIONI) mendesak Kementerian Kehutanan untuk membuka nama-nama perusahaan yang terindikasi merusak hutan Sumatera.
Desakan tersebut timbul atas bencana banjir yang kembali melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara dalam beberapa waktu terakhir. Passalnya, meningkatnya dampak banjir yang dinilai tidak semata dipicu cuaca ekstrem, tetapi juga akibat kerusakan hutan yang berlangsung dalam jangka panjang.
Banjir bandang, longsor, dan meluapnya sungai di sejumlah wilayah telah menimbulkan korban jiwa, merusak permukiman warga, melumpuhkan aktivitas ekonomi, serta meningkatkan kerentanan masyarakat adat dan kelompok miskin.
Namun hingga kini, pemerintah belum mengungkap identitas korporasi yang diduga berkontribusi terhadap degradasi kawasan hulu dan daerah tangkapan air.
Baca Juga: Solidaritas Tanpa Henti, Rumah Zakat Salurkan Rp12,6 Miliar untuk Korban Banjir dan Longsor Sumatera
“Banjir di Aceh, Sumbar, dan Sumut bukan musibah alam semata. Ia adalah akibat dari kebijakan dan pembiaran atas perusakan hutan. Menutup nama perusahaan berarti membiarkan kejahatan ekologis terus berulang,” tegas FOINI.
Sumatera tercatat sebagai salah satu wilayah dengan tingkat deforestasi dan alih fungsi hutan yang tinggi. Kerusakan hutan terjadi antara lain akibat ekspansi perkebunan skala besar, hutan tanaman industri, serta kegiatan pertambangan.
Degradasi kawasan hulu dan bentang alam kritis tersebut secara langsung meningkatkan risiko banjir di wilayah hilir. Di sisi lain, meskipun negara memiliki data konsesi, hasil pengawasan, dan temuan pelanggaran, informasi mengenai pelaku korporasi masih belum dibuka kepada publik.
FOINI menilai praktik ketertutupan tersebut mencederai hak masyarakat atas informasi, mengabaikan prinsip akuntabilitas penegakan hukum, serta berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sikap tersebut juga dinilai melemahkan upaya pengendalian deforestasi, penanggulangan krisis iklim, dan pengurangan risiko bencana.
Menurut FOINI, selama identitas dan status hukum perusahaan perusak hutan tidak dibuka, risiko bencana ekologis akan terus berulang, penegakan hukum kehutanan hanya bersifat simbolik, korporasi berpotensi menikmati impunitas, dan upaya pemulihan lingkungan serta perlindungan wilayah kelola rakyat menjadi tidak efektif.
Atas dasar itu, FOINI mendesak pemerintah melalui Kementerian Kehutanan untuk membuka secara transparan daftar perusahaan yang terindikasi merusak hutan di Sumatera, termasuk lokasi konsesi, jenis pelanggaran, dan status penanganan hukumnya. Selain itu, penegakan hukum kehutanan diminta dikaitkan dengan upaya pencegahan bencana, khususnya di wilayah rawan banjir.
FOINI juga mendorong penghentian praktik pembiaran dan negosiasi tertutup dengan pelaku perusakan hutan, serta pelibatan masyarakat terdampak dan publik dalam pengawasan, pemulihan hutan, dan penataan ulang tata kelola kawasan.
Baca Juga: Banjir Aceh Tamiang, PIS Kerahkan Armada Laut hingga Darat
Desakan tersebut disampaikan seiring meningkatnya pertanyaan publik mengenai transparansi negara dalam penanganan kasus perusakan hutan yang berdampak langsung pada keselamatan dan kehidupan masyarakat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement