WE Online, Jakarta - Beberapa waktu lalu saya meluncurkan buku baru berjudul 8 Wajah Kelas Menengah. Buku ini istimewa karena merupakan kristalisasi dari proses pencarian saya selama lima tahun mengenai siapa sesungguhnya sosok konsumen kelas menengah Indonesia. Selama kurun waktu tersebut, praktis tiap tahun saya menggelar proyek riset untuk mengungkap nilai-nilai dan perilaku konsumen kelas menengah. Untuk tujuan itu pula saya membentuk Middle Class Institute (MCI) yang khusus melakukan studi mengenai topik tersebut.
Selama lima tahun terakhir, revolusi kelas menengah telah mengubah wajah konsumen dan dunia pemasaran di Indonesia. Namun, celakanya, kita masih gelap mengenai bagaimana sesungguhnya sosok mereka. Kita masih belum tahu persis bagaimana nilai-nilai yang mereka anut. Kita masih meraba-raba bagaimana gaya hidup dan keseharian mereka. Kita juga masih samar-samar mengetahui bagaimana perilaku mereka dalam membeli dan mengonsumsi produk.
Untuk itulah buku ini lahir. Berangkat dari riset yang saya lakukan di sembilan kota di Indonesia, saya mencoba memotret wajah mereka dengan mencari tahu nilai-nilai, aspirasi, gaya hidup, dan perilakunya. Dengan memahami secara mendalam karakteristik mereka, maka harapannya, strategi, taktik, dan program yang kita jalankan juga akan lebih efektif dan presisi. Inilah delapan wajah mereka yang berhasil saya potret, terdiri dari sosok Performer, Aspirator, Climber, Expert, Follower, Trendsetter, Flow-er, dan Settler.
Performer adalah kalangan profesional dan entrepreneur yang memiliki ambisi luar biasa untuk membangun kompetensi diri. Mereka adalah self-achiever yang menggunakan kompetensi dan keterampilan sebagai alat untuk mendongkrak tingkat ekonomi. Oleh karena itu, mereka selalu meng-update informasi, mengadopsi teknologi, dan terus belajar untuk meng-improve diri. Karena memegang informasi dan teknologi, mereka cenderung melihat persaingan (dengan rekan-rekan kerja) secara positif. Performer lebih selfish dengan misi hidup mencapai kebebasan keuangan (financial freedom). Ya, karena mereka belum puas dengan tingkat kehidupan ekonomi saat ini.
Aspirator adalah Performer yang sudah mapan dan cukup puas dengan kondisi ekonomi saat ini. Mereka juga open mind terhadap globalisasi dan mengadopsi nilai-nilai universal. Karena sudah merasa cukup, maka orientasi hidup mereka tidak lagi selfish. Ia mulai memikirkan hal-hal di luar dirinya. Mulai peduli dengan anggota DPR yang hobi korupsi, mulai peduli pesawat kok jatuh melulu, mulai peduli dengan pemanasan global, atau hutan Kalimantan yang dibabat habis. Ia punya harapan menjadi influencer bagi masyarakat, lingkungan, dan negaranya. Jadi, tidak benar bahwa seluruh kelas menengah Indonesia itu acuh tak acuh terhadap negaranya.
Climber adalah para pegawai pabrik (blue collar), salesman, supervisor, dan sebagainya yang berupaya keras membanting-tulang untuk menaikkan status ekonominya. Harapan utama mereka adalah mendongkrak karir dan menaikkan taraf kehidupan menjadi lebih baik. Karena umumnya masih mengawali karir, mereka masih suka berpindah-pindah kerja (job-hunter), risk-taker dalam karir, dan cenderung melihat bahwa "career is a journey". Seperti halnya Expert, mereka memiliki sedikit waktu luang karena pagi-pagi harus berangkat ke kantor atau pabrik dan lepas magrib baru bisa pulang ke rumah dalam kondisi capek. Umumnya mereka memiliki family-values yang tinggi dan bekerja keras melulu untuk keluarga. Karena itu, mereka adalah sosok "hero of their family".
Expert kebanyakan adalah profesional di berbagai bidang, mulai dari dokter, arsitek, konsultan, atau pengacara yang selalu berupaya menjadi expert di bidang yang digelutinya. Setiap hari mereka sibuk menekuni bidang profesinya dari pagi hingga larut malam. Dokter yang sudah laku, misalnya, harus mengurusi pasien-pasiennya dari pagi hingga dini hari. Hidupnya cenderung rutin dan monoton, tetapi mereka menikmatinya, karena semua pekerjaan itu dilakukan dengan passionate. Karena "tertawan" oleh pekerjaan, mereka tidak memiliki cukup waktu luang untuk anak-anak, jalan-jalan di mal, atau menghadiri acara-acara keluarga/kerabat. Karena itu, lingkungan pergaulan mereka juga terbatas, melulu di lingkungan profesinya. Intinya, their life is their career".
Follower umumnya adalah kalangan muda (SMA dan kuliah) yang membutuhkan panutan (role model) untuk menemukan dan menunjukkan eksistensinya. Mengapa butuh panutan? Ya, karena mereka masih mencari jati diri, belum punya banyak pengalaman, dan wawasannya masih terbatas (short-term vision, less sense of purpose). Mereka adalah "generasi galau" (ababil: "ABG labil"). Karena hal ini pula, tangible aspect seperti tampilan fisik, kepemilikan barang mahal, atau citra diri menjadi sesuatu yang penting. Bagi mereka, teman adalah segalanya (friends are everything), dan diterima di lingkungan teman merupakan sesuatu yang penting untuk menunjukkan eksistensi mereka. Koneksi dengan teman (connecting with friends) mereka lakukan melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter.
Trendsetter memiliki daya beli yang lebih tinggi (more resources) dibanding follower. Karena lebih mampu, mereka ingin menjadi panutan dalam gaya hidup (peripheral lifestyle) seperti fesyen, gaya selebriti, gadget, dan sebagainya) bagi teman-temannya. They are victim of trends. Mereka menemukan eksistensinya ketika diikuti dan menjadi center of attention di lingkungan teman-temannya. Untuk bisa terus mengikuti tren dan isu-isu terbaru, mereka aktif berkoneksi di lingkungan teman-temannya menggunakan Facebook atau Twitter. Dengan karakteristik seperti itu, tak diragukan lagi bahwa mereka adalah orang-orang narsis (narcissist) dan cenderung self-centered.
Flow-er adalah sosok yang tidak puas dengan tingkat kehidupan ekonominya saat ini, tetapi mereka tak tahu harus bagaimana untuk mengubahnya. Karena tingkat pendidikan dan pengetahuan yang terbatas, mereka cenderung kurang meng-update informasi dan mengadopsi teknologi sehingga wawasan dan visi hidupnya terbatas. Dengan keterbatasan itu, hidup mereka cenderung pasrah dan mengalir (flow) di tengah perubahan kehidupan (teknologi, informasi, sosial, politik, dsb.) yang cepat dan bergolak. Keluarga dan (terutama) anak adalah aset terbesar yang mereka miliki. Di tengah pergolakan hidup yang cepat, pegangan mereka hanya satu, yaitu keyakinan agama (high spiritual values). Karena itu, mereka cenderung menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat.
Settler adalah Flow-er yang sudah memiliki kemapanan hidup. Sosok ini merintis warung atau punya lahan luas hasil warisan yang menghasilkan sumber keuangan cukup besar bagi kehidupan ekonomi. Mereka tidak lagi memiliki keresahan hidup dari sisi ekonomi. Hanya saja, berbeda dengan Aspirator atau Performer, mereka bukanlah sosok yang knowledgeable, bisa jadi cuma lulus SD atau SMP. Karena tingkat pengetahuan yang terbatas, maka mereka cenderung memegang nilai-nilai tradisional dan fobia terhadap perkembangan informasi, teknologi, dan globalisasi. Oleh karena sudah puas dengan sukses yang dicapai saat ini, mereka cenderung tidak belajar dan mengembangkan diri. They are at the comfort zone.
Sumber: Majalah Warta Ekonomi Edisi 20
Penulis: Yuswohady, Managing Partner, Inventure
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement