WE Online, Jakarta - Perusahaan teknologi dan jaringan transportasi asal San Fransisko, Amerika Serikat, Uber Technologies Inc, telah menghasilkan laba lebih dari US$1 miliar dalam setahun di 30 kota secara global dan keuntungan Uber tersebut digunakan untuk membiayai ekspansi di China, kata CEO Travis Kalanick dalam sebuah wawancara sebagaimana dikutip dari laman Channel NewsAsia di Jakarta, Minggu (27/3/2016).
Perusahaan mengatakan bahwa pada bulan Februari 2016 pihaknya telah menggelontorkan dana lebih dari US$1 miliar per tahun dalam pertempurannya dengan pesaing lokal Didi Kuadi untuk memenangkan pasar.
Kalanick mengatakan China adalah pasar yang paling intens untuk perusahaan dan merupakan wadah untuk ide-ide baru yang kemudian diekspor ke pasar lain sehingga diperlukan investasi berkelanjutan di negara tersebut.
"Hari ini kami telah menghasilkan keuntungan lebih dari US$ 1 miliar dalam setahun yang berasal hanya dari 30 kota utama dan laba tersebut akan terus berlipat ganda setiap tahunnya karena kami telah tumbuh dan berkembang," katanya di sela-sela Forum Boao di Provinsi Pulau Hainan di China.
"Jadi yang membantu kita untuk dapat berinvestasi secara berkelanjutan di China adalah berkat keuntungan yang kita peroleh secara global. Hal ini dapat kita lakukan dalam jangka panjang," katanya.
Diketahui, Uber dan pesaingnya, Didi Kuaidi yang didukung oleh raksasa teknologi China Tencent Holdings Ltd dan Alibaba Group Holding Ltd, telah menghabiskan banyak biaya untuk menyubsidi tarif dalam upaya mendapatkan pangsa pasar, bertaruh pada pasar transportasi internet China yang akan menjadi pasar terbesar di dunia.
Strategi tersebut tampaknya berhasil untuk Uber. Pangsa pasar perusahaan di China telah berkembang dengan cepat dan saat ini telah meraih sekitar 30 persen pangsa pasar, naik dari sekitar satu persen sampai dua persen pada bulan Januari 2015.
Awal bulan ini, Menteri Transportasi China mengatakan subsidi tarif dan suplementasi upah sopir oleh perusahaan ride-hailing tersebut menyebabkan timbulnya persaingan yang tidak sehat dan tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.
Perusahaan yang berbasis di San Fransisko tersebut didirikan pada tahun 2009 dan pertama kali menguji produk barunya di China yakni UberCOMMUTE, sebuah aplikasi carpooling yang pertama kali diluncurkan di Chengdu pada September lalu, dan selanjutnya diperluas di tempat lain.
"Kunci untuk keberhasilan Uber di China adalah bergerak cepat," kata Kalanick.
Bisnis Uber di China telah mendorong valuasi perusahaan pada bulan Januari senilai lebih dari US$8 miliar setelah berhasil mengumpulkan lebih dari US$1 miliar di putaran pendanaan terbaru.
Travis mengatakan aliansi bertujuan untuk mendorong perjalanan global dan lokal, bahkan lebih sederhana dan lebih nyaman. Saat ini Uber di seluruh dunia masih mengalami beberapa penolakan terkait operasionalnya karena mengancam transportasi umum setempat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement