Kerusakan hutan atau deforestasi akibat buruknya tata kelola kehutanan dan aktivitas ilegal di Aceh selama sembilan tahun terakhir mencapai lebih dari 290 ribu hektare (ha).
Staf GIS Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) Agung dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu (29/6/2016), mengatakan dengan angka tersebut artinya laju deforestasi di Aceh mencapai 32 ribu hektare per tahun atau sebesar satu persen per tahun.
Yayasan HAkA, menurut Agus, mencatat luas hutan Aceh pada tahun 2006 seluas 3,34 juta ha, namun kini tersisa seluas 3,05 juta ha. Sedangkan data dari dokumen Governor Climate and Forest (GCF) task force pada periode 2006 hingga 2009 saja, Aceh kehilangan 160 ribu ha lebih di mana luas hutan Aceh pada 2006 mencapai 3,34, berkurang menjadi 3,18 juta ha pada 2009.
Data dari Forest Watch Indonesia, pada periode 2009-2013, deforestasi di Aceh mencapai 127 ribu ha lebih dengan laju kerusakan hutan mencapai 31,8 ribu per tahun. Luas hutan Aceh pada 2009 mencapai 3,154 juta ha berkurang menjadi 3,027 juta ha.
Dari data itu pula diketahui bahwa sebesar 54 persen dari daratan Aceh masih berupa tutupan hutan alam, ujar dia.
Kerusakan hutan pada periode tersebut yang terluas berada di Kabupatan Aceh Timur mencapai 4.431 ha, Kabupaten Aceh Selatan mencapai 3.061 ha, Kabupaten Aceh Utara 1.771 ha, Kota Subulussalam 1.475 ha, dan Kabupaten Gayo Lues mencapai 1.401 ha.
Begitu juga dengan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), juga mengalami penyusutan akibat konsesi hutan menjadi perkebunan dan praktik merusak lainnya. Yayasan HAkA, ia mengatakan menemukan sekitar 200 ribu ha luas tutupan hutan alam di dalam Areal Penggunaan Lain (APL), dari luas tersebut ada 69 ribu ha hutan alam berada di Kawasan Ekosistem Leuser.
Luas tutupan hutan alam di KEL per Mei 2016 mencapai 1,8 juta ha atau sekitar 79 persen dari total area KEL. KEL, lanjutnya, dinyatakan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dalam PP 26 tahun 2008 namun sayangnya Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tidak memuat KEL sebagai KSN.
Saat ini yang juga perlu diperhatikan bersama adalah RTRW Kabupaten/Kota di sekitar KEL dan Rencana Tata Ruang KSN KEL. TNGL, menurut dia, merupakan bagian dari KEL yang seharusnya tidak menjadi hal yang menakutkan karena di sana terdiri dari berbagai fungsi kawasan hutan dan Area Penggunaan Lain (APL).
Pada saat terjadi bencana, ia mengatakan orang menyalahkan hutan dan lingkungan yang sudah dirusak. Namun di saat yang lain, orang yang sama menyebutkan pembangunan tidak dapat dilaksanakan karena terhalang dengan kawasan lindung. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil