Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan peningkatan daya beli merupakan perangkat yang paling tepat untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, sudah terbukti pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Data ekonomi pada era Presiden Yudhoyono menunjukkan 62 persen hingga 65 persen pertumbuhan ekonomi disumbangkan konsumsi rumah tangga," kata anggota Dewan Pengupahan dari KSPI Iswan Abdullah dihubungi di Jakarta, Rabu (20/7/2016).
Iswan mengatakan saat pertumbuhan ekonomi pada masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 2015 hanya mencapai 4,8 persen, konsumsi rumah tangga saat itu hanya 51 persen dengan investasi mencapai 33 persen serta APBN dan ekspor hanya 16 persen.
Menurut Iswan, kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang hanya bertumpu pada investasi yang propengusaha hanya akan melahirkan pengusaha kaya yang semakin kaya atau konglomerat baru.
"Data membuktikan ada penumpukan modal puluhan ribu triliun di luar negeri oleh para konglomerat Indonesia dan kesenjangan ekonomi semakin lebar, sementara pendapatan upah pekerja dan masyarakat dihabiskan untuk belanja kebutuhan hidup bulanan bahkan tidak bersisa untuk menabung," tuturnya.
Karena itu, buruh mendesak pemerintah untuk segera mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan karena telah membawa Indonesia kepada rezim upah murah. Upah murah yang diterima buruh akan menyebabkan daya beli masyarakat menurun sehingga pertumbuhan ekonomi melambat.
Gerakan Buruh Indonesia (GBI) yang terdiri atas konfederasi dan federasi serikat pekerja dan serikat buruh juga telah mengajukan peninjauan kembali terhadap PP Pengupahan kepada Mahkamah Agung. Panitia Kerja Komisi IX DPR juga telah merekomendasikan kepada pemerintah untuk mencabut PP tersebut. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: