Ekonom Permata Bank Josua Pardede menilai rencana Bank Indonesia (BI) yang akan memberlakukan Giro Wajib Minimum (GWM) secara rata-rata atau GWM Averaging akan membantu industri Perbankan dalam mengelola ketersediaan likuiditasnya.
"Jadi ini lebih kepada BI memberikan fleksibilitas untuk perbankan mengelola likuiditasnya. Karena kita tahu sendiri kemarin akhir periode tax amnesty sendiri banyak bank yang kesulitan likuiditas karena ada deklarasi dari pajak," ujar Josua di Surabaya, Kamis (24/11/2016).
Dia menuturkan, melalui kebijakan ini, bank akan lebih fleksibel mengelola likuiditasnya dibandingkan dengan yang saat ini berlaku di mana bank harus membayarkan GWM setiap hari.
"Saya pikir ke depannya GWM Averaging sebenarnya perbankan ini diberikan kemudahan, jadi tidak harus satu hari itu dia memenuhi GWM-nya. Jadi dalam periode tertentu satu minggu, dua minggu itulah yang saya pikir yang harus dimaintain dari perbankan sehingga bisa lebih optimal lg ya operasi placement misalkan di surat berharga ataupun di instrumen BI lainya," jelasnya.
Senada dengan Josua, menurut Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo, kebijakan ini akan memberikan ketenangan perbankan dalam mengelola likuiditas yang selalu naik turun setiap waktu.
"Itu bagus, karena kan memang kita selama ini managing short-term liquiditynya harus ngepasin supaya pas. Dengan GWM Averaging kan kita bisa menjaga supaya kita nggak harus top up," kata Kartika.
Sementara itu, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menuturkan, ke depan kebijakan ini memang diperlukan guna menjaga likuditas di pasar dan mengantisipasi berbagai kemungkinan pengetatan likuiditas. "Ke depan kalau proyek infrastruktur semua bekerja kan likuiditas akan lebih ketat," tandas Jahja.
Jahja memandang kebijakan ini juga akan memberikan efisiensi bagi perbankan dalam mengelola likuiditas, pasalnya nanti ada kemungkinan bank bisa menarik likuiditas dari cadangan (GWM) BI.
"Ya harusnya dong itu kan pake duit sendiri. Untuk bank yang likuditas ketat kita bisa pake cadangan GWM sendiri daripada dia minjam di pasar. Kalau di pasar kan bunganya lebih mahal dari itu," ungkapnya.
Sebagaimana diketahui, dalam Pertemuan Tahunan BI, Bank Sentral memperkenalkan kebijakan GWM Averaging kepada industri perbankan di Indonesia. Rencananya kebijakan ini akan diterapkan pada Semester II 2017.
Dalam kesempatan tersebut, Gubernur BI Agus DW Martowardojo, kebijakan GWM Averaging ini merupakan best practice (praktik terbaik) yang sudah dijalankan di negara-negara maju. Oleh sebab itu, Indonesia sebagai negara berkembang harus mencontoh praktik-praktik tersebut.
"GWM Averaging adalah best practice di negara-negara yang sudah mapan. Untuk itu kita akan mempersiapkannya," ucap Agus.?
Adapun pada GWM saat ini, BI menghitung dana milik bank yang disimpan di giro BI setiap waktu, bukan per periode. Misalkan, saat ini rasio GWM-Primer atau yang diartikan sebagai simpanan minimum bank dalam rupiah atau valas di BI sebesar 6,5%. Maka, setiap waktu bank harus menaruh 6,5% dari total Dana Pihak Ketiga bank di giro BI.
Setelah pemberlakuan GWM Averaging maka kewajiban bank dalam menaruh simpanan di giro BI akan dihitung secara rata-rata per periode. Dengan membayarkan likuiditas secara rata-rata untuk suatu periode tertentu, diharapkan perbankan memiliki ruang lebih besar untuk menyalurkan kredit.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Vicky Fadil