Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bahana: Cermati Dinamika Pasar Global

        Bahana: Cermati Dinamika Pasar Global Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Para pelaku pasar finansial global saat ini tengah meninjau kembali asumsi nilai harga acuan (repricing) terhadap sejumlah aset investasi yang berpotensi meningkatkan risiko ketidakpastian. Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan investor?

        Risiko repricing ini mulai terlihat dari pergerakan imbal hasil obligasi Indonesia. Berdasarkan data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), Indonesia Composite Bond Index (ICBI) melemah 0,3% dalam sepekan terakhir.?

        Hal ini disebabkan dari kenaikan imbal hasil (yield) surat utang Amerika Serikat (AS) bertenor 10 tahun yang terjadi sejak awal Februari lalu. Mencermati dinamika kondisi ekonomi global yang mempengaruhi perekonomian Indonesia, PT Bahana TCW Investment Management merekomendasikan bagi para investor untuk memilih strategi investasi yang terstruktur.

        Hal ini bertujuan agar investor tetap memperoleh kestabilan imbal hasil atau return dalam berinvestasi, terhindar dari risiko repricing yang terjadi di pasar saham dan obligasi (fixed income), serta memberikan perlindungan modal (capital protective).

        Presiden Direktur PT Bahana TCW Investment Management Edward Lubis menyarankan investor selalu berpegang teguh pada 'acuan untuk cuan'. "Untuk mengurangi risiko repricing, investor bisa mengalihkan portofolio ke investasi atau reksa dana yang memberi yield tetap. Jika kondisi pasar sudah lebih stabil memperoleh kepastian dari rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) dari The Fed maka investor bisa mengalihkan lagi portofolio ke pasar modal," jelasnya di Jakarta, Senin (5/3/2018).

        Sementara itu, Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan kondisi ekonomi AS sebenarnya telah menunjukkan perbaikan sebelum kehadiran Donald Trump sebagai Presiden AS. Namun, Trump kemudian membuat kebijakan pemotongan pajak (tax cut) yang regresif sehingga berpotensi memperburuk ketimpangan ekonomi di negeri Paman Sam.

        Dengan pemotongan pajak, sumber penghasilan negara akan berkurang. Sementara negara juga memiliki rencana untuk pembangunan infrastruktur yang memakan biaya yang cukup besar. Oleh sebab itu, Pemerintah AS diduga akan meminjam utang dalam jumlah besar.

        "Pemulihan ekonomi di AS akan memicu risiko inflasi AS yang lebih tinggi dari 1,8% menjadi 2,1% pada akhir tahun. Hal ini akan mendorong kenaikan yield US Treasury yang menjadi acuan dari bond negara lainnya," jelas Budi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Gito Adiputro Wiratno
        Editor: Fauziah Nurul Hidayah

        Bagikan Artikel: