Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        840 Korban Tewas Akibat Miras Oplosan

        840 Korban Tewas Akibat Miras Oplosan Kredit Foto: Antara/Maulana Surya
        Warta Ekonomi, Bandung -

        Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dari pemberitaan media nasional, terdapat 840 korban tewas akibat konsumsi oplosan selama 10 tahun terakhir ini (2008-2018). Sebanyak 130 orang diantaranya tewas di wilayah Bandung Raya.

        Peneliti CIPS, Sugianto Tandra, menilai konsumsi minuman beralkohol oplosan di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia per 13 April 2018, sudah 89 orang tewas akibat konsumsi oplosan di wilayah hukum Polda Jawa Barat dan Polda Metro Jakarta selama kurang dari tiga minggu terakhir ini.?

        "Melihat angka ini, sudah seharusnya pemerintah lebih fokus pada pemberantasan minuman beralkohol oplosan,"katanya kepada wartawan di Bandung, Rabu (9/5/2018).

        Sugianto mengungkapkan jumlah penduduk di wilayah Bandung Raya yang meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi berjumlah 8.219.706 orang. Bila dibandingkan, rata-rata angka korban tewas akibat oplosan per tahun di Bandung Raya yaitu 13 jiwa, maka didapatkan perbandingan 1 per 650.000.

        Artinya jika dirata-rata berdasarkan jumlah penduduknya, jumlah korban tewas di Bandung Raya mencapai hampir 5 kali lipat dari angka rata-rata nasional. Sedangkan untuk tingkat nasional, dengan rata-rata korban tewas per tahun sebanyak 84 jiwa dan total populasi 255.443.833 orang, maka didapatkan perbandingan 1 per 3.100.000.

        Hasil pantauan laporan media ini menunjukkan ada dua kemungkinan realita, yaitu bahwa wilayah Bandung Raya adalah daerah yang paling rawan minuman beralkohol oplosan atau bahwa korban tewas oplosan di daerah-daerah di luar Bandung Raya kurang terungkap di media massa.

        "Jika kemungkinan kedua ini yang benar, maka bisa jadi jumlah korban tewas akibat minuman beralkohol oplosan di Indonesia beberapa kali lipat lebih tinggi dari angka yang saat ini terpantau,? ungkap Sugianto.

        Di Kota Bandung sendiri, berdasarkan survei yang dilakukan oleh CIPS pada 24 Jan-8 Feb 2018 lalu, sebanyak 41% dari 100 responden peminum alkohol dari kalangan masyarakat umum mengatakan mereka pernah mengonsumsi minuman beralkohol oplosan. Sementara itu, dalam survei CIPS terhadap 100 mahasiswa pengonsumsi minuman beralkohol, 32% dari mereka mengaku pernah mengonsumsi minuman beralkohol oplosan.

        ?Hasil studi yang kami dapatkan ini menguatkan temuan Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014. WHO sebelumnya memperkirakan bahwa tingkat konsumsi minuman beralkohol ilegal di Indonesia mencapai 5 kali lipat lebih tinggi dari konsumsi minuman beralkohol legal,? jelas Sugianto.?

        Di dalam terminologi WHO, minuman beralkohol ilegal termasuk berbagai jenis minuman beralkohol yang banyak beredar di pasar gelap, antara lain produk buatan rumahan yang tak berizin, produk palsu, produk selundupan dari luar negeri, hingga oplosan (surrogate alcohol).

        Sedangkan minuman beralkohol legal mencakup semua jenis minuman beralkohol yang secara resmi terdaftar dalam statistik pemerintah, mulai dari saat diproduksi atau diimpor hingga diedarkan dan dijual di masyarakat.?

        Sugianto menjelaskan peraturan terkait minuman beralkohol yang berlaku sekarang tidak efektif karena hanya fokus pada pembatasan minuman beralkohol legal tanpa menyinggung minuman beralkohol oplosan. Misalnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 20/M-DAG/PER/04/2014 Pasal 28 yang melarang memperdagangkan minuman beralkohol di lokasi yang berdekatan dengan gelanggang remaja, kaki lima, terminal, stasiun, kios-kios kecil, penginapan remaja dan bumi perkemahan, serta tempat ibadah, sekolah, rumah sakit dan tempat lain yang ditetapkan bupati/gubernur.?

        Selain itu, pada tahun 2015 pemerintah menaikkan bea impor minuman beralkohol kategori B dan C menjadi 150%. Sejumlah pemerintah daerah juga memberlakukan pembatasan terhadap minuman beralkohol di wilayah administrasi mereka, termasuk di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat.?

        "Kenyataannya orang tetap mengonsumsi minuman beralkohol, termasuk mereka yang di bawah umur. Sebanyak 80% mahasiswa yang diteliti CIPS pertama kali minum alkohol saat di bangku Sekolah Menengah Atas (15-18 tahun), dan bahkan sebelumnya," katanya .

        Sebagian peminum bahkan mengonsumsi minuman beralkohol oplosan yang didapat dari warung, tempat-tempat yang menurut peraturan tidak boleh menjual minuman beralkohol. Sebanyak 65% responden mahasiswa dan 54% responden kalangan umum membeli minuman beralkohol oplosan di warung dengan alasan ?harga lebih murah? dan ?dekat dengan tempat tinggal.?

        Selain mengandung zat-zat mematikan, lanjut Sugianto, minuman beralkohol oplosan juga cenderung dikonsumsi dalam jumlah banyak karena harganya yang murah.?

        ?Studi kami menunjukkan kenyataan bahwa sebagian peminum alkohol tidak mengindahkan peraturan dan akan selalu mencari minuman beralkohol untuk memuaskan kebutuhan mereka, termasuk bila perlu dalam bentuk minuman berakohol oplosan yang jelas-jelas murah dan relatif mudah didapat walaupun nyata-nyata dapat membahayakan nyawa mereka,? jelasnya.

        Hal ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa minuman beralkohol non-oplosan sama sekali aman bagi kesehatan. Seperti halnya makanan atau minuman lain pada umumnya, konsumsi yang terlalu banyak dan terlalu sering dapat berakibat negatif pada kesehatan. Volume konsumsi minuman alkohol legal memungkinkan tidak meningkat jika minuman alkohol menjadi lebih murah dan mudah untuk dibeli.

        Menurut survei Kementerian Kesehatan pada 2014, jumlah konsumen minuman beralkohol legal di Indonesia terbilang kecil, yaitu sekitar 500.000 orang atau 0,2% dari total populasi.

        Menurut laporan WHO tahun 2014, volume konsumsi minuman beralkohol legal di Indonesia pada 2010 diperkirakan sebesar 0,1 liter alkohol murni per kapita, salah satu yang terkecil di dunia. Tetapi, volume konsumsi per kapita untuk minuman beralkohol ilegal mencapai 5 kali lebih besar yaitu 0,5 liter.

        ?Oleh karena itu, masalah yang ada di depan mata dan lebih mendesak untuk ditangani adalah minuman beralkohol oplosan yang jelas-jelas sudah memakan banyak korban jiwa, seperti yang terjadi baru-baru ini di Cicalengka dan Jabodetabek. Kebijakan terkait minuman beralkohol baik di tingkat nasional maupun daerah yang diniatkan untuk melindungi masyarakat dari bahaya alkohol justru menciptakan kondisi yang dapat menyuburkan konsumsi minuman beralkohol oplosan,? ungkapnya.

        Untuk itu, CIPS merekomendasikan perubahan beberapa ketentuan dalam berbagai peraturan yang sudah ada misalnya menurunkan harga minuman beralkohol legal, pemerintah harus menurunkan nilai cukai dan bea masuk yang dikenakan pada minuman beralkohol, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 132/PMK.010/2015 dan PMK No. 207/2013.?

        Selain itu, pemerintah harus membatalkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 06/M-DAG/PER/1/2015 yang melarang penjualan minuman beralkohol di minimarket. Setelah membuka akses, pemerintah harus sungguh-sungguh menegakkan ketentuan larangan penjualan minuman beralkohol kepada orang-orang di bawah umur (21 tahun).?

        Pemerintah juga harus meningkatkan upaya pencegahan melalui pendidikan tentang bahaya penyalahgunaan minuman beralkohol, terutama minuman beralkohol oplosan. Pencegahan dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang disertai dengan penegakan hukum lebih efektif ketimbang pelarangan total.?

        "Pemerintah harus menindak tegas pihak-pihak yang melanggar ketentuan hukum yang berlaku," pungkanya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Saepulloh
        Editor: Ratih Rahayu

        Bagikan Artikel: