Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        State Limited Intervention Lewat Pendekatan Kewirausahaan untuk Pacu Ekspor

        State Limited Intervention Lewat Pendekatan Kewirausahaan untuk Pacu Ekspor Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ekspor Indonesia saat ini didominasi oleh industri pengolahan dengan kontribusi mencapai 75,99%. Sayang, nilai ekspornya dari tahun ke tahun cenderung menurun. Jika pada tahun 2012, nilai ekspor industri pengolahan sebesar US$118.115,19 juta, tapi pada 2016 turun tinggal US$109.797,31 juta. Penurunan ekspor ini berdampak pada neraca perdagangan. Salah satu penyebab defisit adalah besarnya impor BBM.

        Peningkatan ekspor adalah salah satu jalan keluar untuk memperbaiki kinerja ekonomi. Diperlukan kebijakan ekonomi yang komprehensif dan fokus pada penguatan mesin utama penggerak perekonomian, yaitu sektor manufaktur.

        Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia mengalami deindustrialisasi karena pertumbuhan sektor industri masih mengalami kelesuan. Kontribusi sektor industri terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 10 tahun belakangan lebih rendah dibandingkan era 1990-an hingga awal 2000-an. Pada tahun 2001 kontribusi industri terhadap PDB kurang lebih 27%. Angka itu terus merosot hingga pada 2016 hanya mencapai 20,51%. Melambatnya pertumbuhan industri disebabkan oleh rendahnya insentif, ketersediaan bahan baku, sumber daya manusia berkualitas, serta inovasi teknologi.

        Kita perlu berkaca pada keberhasilan Tiongkok dalam mengembangkan industrinya yang mampu memberi kontribusi ekspor signifikan. Keberhasilan Tiongkok ini karena intervensi pemerintah yang tepat dengan kebijakan publik berbasis kewirausahaan, terutama dalam melakukan clustering. Pendekatan komprehensif yang memperhatikan banyak aspek digunakan. Pendekatan ekonomi dipakai untuk mengetahui faktor apa saja dan prasyarat seperti apa yang dibutuhkan untuk memulai dan mengembangkan industrial cluster.

        Pendekatan manajemen digunakan untuk memahami sejauh mana peran kewirausahaan dan organisasi mampu membangkitkan industrial cluster. Pendekatan geografis dibutuhkan untuk menjawab persoalan yang terkait dengan efisiensi mobilitas orang dan barang, lintasan ekonomi, dan pusat-pusat pertumbuhan serta aglomerasi ekonomi.

        Pendekatan sosiologis digunakan untuk menjelaskan peran jejaring sosial yang memicu berkembangnya kewirausahaan dan terbentuknya lembaga-lembaga usaha.

        Bagaimana Tiongkok Melakukan Industrial Clustering?

        Industri Tiongkok merambah berbagai bidang dan mampu bersaing di pasar global. Menarik untuk disimak bagaimana kebijakan kewirausahaan yang diambil Pemerintah Tiongkok untuk mengembangkan klaster industri bioteknologi di Pantai Timur Tiongkok. Pada tahap awal, sekitar pertengahan tahun 1980-an hingga pertengahan 1990-an, Pemerintah Tiongkok melakukan reformasi kelembagaan di sektor pemerintahan, menciptakan bentuk-bentuk baru tentang hak milik (property right), menetapkan program strategis untuk pengembangan bioteknologi, dan sektor teknologi tinggi lainnya. Setelah platform kelembagaan dan hak milik tertata, dilanjutkan dengan fase kedua.

        Fase kedua ini dimulai dari pertengahan tahun 1990-an, kebijakan difokuskan pada pemberian insentif untuk membantu startup, juga mengajak entrepreneur keturunan Tiongkok yang ada di mancanegara untuk membuka usaha di Tiongkok. Selain itu, Pemerintah Tiongkok mengembangkan klaster regional di sekitar science parks.

        Dampak dari kebijakan ini, banyak perusahaan masuk ke dalam klaster biotek di masing-masing wilayah. Jumlahnya meningkat dua kali lipat pada periode 1995-2003 dibandingkan dengan periode sebelum 1995. Adapun perusahaan yang masuk sebelum tahun 1995 adalah perusahaan yang didirikan atas inisiatif pemerintah untuk memfasilitasi ilmuwan Tiongkok yang kembali dari luar negeri.

        Faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi memiliki keterkaitan dengan daerah asal ilmuwan yang pulang dari luar negeri. Ilmuwan terkemuka kebanyakan berasal dari Shanghai dan Beijing. Sepulang dari luar negeri, mereka lebih memilih membuka usaha di kota-kota tersebut. Alasannya, di kota-kota ini mereka sebelumnya telah memiliki jejaring sosial. Di sini, koneksi lokal memainkan peranan penting dalam menentukan lokasi perusahaan biotek.

        Faktor kunci lain yang mempengaruhi pemilihan lokasi adalah sikap dan kebijakan pemerintah. Pemerintah membangun regional cluster biotech dengan mempertimbangkan banyak aspek, seperti kemudahan akses, ketersediaan bahan baku, dukungan kebijakan, mekanisme pasar yang fleksibel, dan efisiensi.

        Jika kita runut dari sejarah, Beijing dan Shanghai sejak dulu mempunyai peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang riset bioteknologi. Di Beijing ada 64 Universitas, Shanghai ada 41, sementara di Shenzen hanya ada dua. Shanghai diarahkan untuk broad based industries, sedangkan Shenzen karena kedekatannya dengan Hong Kong dijadikan cluster untuk melayani pasar internasional.

        Ada karakteristik yang membedakan tiga klaster biotek di tiga kota tersebut. Klaster biotek Beijing sangat dipengaruhi oleh kuatnya kegiatan penelitian dan koneksi ke pemerintah. Dari segi lingkungan kelembagaan, kedekatan dengan pemerintah itu penting karena akan memudahkan membangun jejaring yang menghubungkan kepentingan industri biotek dengan kepentingan pemeriantah, terutama yang berkaitan dengan bagaimana mendapatkan pendanaan penelitian dan arah kebijakan biotek pemerintah.

        Klaster Shanghai difokuskan pada pengembangan industri farmasi. Pemerintah berupaya membangun science park untuk mendorong agar para entrepreneur mau membangun usahanya di sini, menggerakkan lembaga riset, dan memberikan kemudahan prosedur birokrasi. Shanghai kini berkembang sebagai pusat riset farmasi dengan intensitas penelitian yang tinggi. Bisnis farmasi berkembang pesat karena ada lingkungan bisnis yang diciptakan pemerintah, yang mendukung berkembangnya klaster farmasi.

        Klaster Shenzen mendapatkan keuntungan dari warisan keterbukaan yang lebih panjang dan lingkungan bisnis yang lebih baik karena deregulasi yang lebih awal sehingga suasana bisnis di Senzhen lebih terbuka, memiliki tautan internasional yang lebih kuat.

        Perusahaan biotek yang beroperasi di klaster Senzhen tidak tergantung pada Beijing dalam segi teknologi karena mereka menggunakan teknologi dari luar yang dibawa oleh mitra bisnis. Klaster Senzhen memiliki akses yang relaltif lebih baik ke sumber modal dan jaringan internasional, terutama bagi para ilmuwan dan entrepreneur yang kembali dari luar negeri.

        Pelajaran yang bisa dipetik dari aglomerasi regional menjadi klaster industri adalah menggabungkan faktor pemicu. Faktor pemicu ini adalah sikap dan kebijakan pemerintah yang fokus mengembangkan ekonomi daerah pada satu sisi dengan kewirausahaan masyarakat. Klaster itu muncul sebagai respons masyarakat dunia usaha yang paham dengan kewirausahaan atas kebijakan pemerintah dan peluang memanfaatkan teknologi lebih baru untuk memperbesar usahanya. Respons kewirausahaan ini mewujud kepada berbagai jenis transfer pengetahuan atau pemanfaatan limpahan (spill over) teknologi.

        Pemerintah memainkan peran sangat menentukan dalam pengembangan industri. Ketika industri dipandang sebagai sesuatu yang strategis dan penting, tindakan pemerintah dan legislasi memainkan peranan penting dalam mendukung perkembangan industri tersebut. Proteksi tarif dikeluarkan untuk melindungi dan mendorong industri farmasi domestik berkembang menjadi lebih sehat. Ini adalah bentuk dari limited state intervention.

        Adapun kebijakan publik yang dibutuhkan untuk pengembangan industri meliputi:

        (1) Kebijakan yang memastikan keberadaan basis pengetahuan yang cukup;

        (2) Kebijakan yang memberikan insentif agar industri berkembang;

        (3) Kebijakan yang mendukung eksperimen kewirausahaan;

        (4) Kebijakan menciptakan pasar atau menciptakan kondisi pasar yang sesuai dengan kebutuhan industri;

        (5) Kebijakan menciptakan resources terutama human capital dan finansial; dan

        (6) Kebijakan yang memajukan eksternalitas positif, yaitu yang mendorong agar pelaku industri mengikuti praktik dan standar internasional.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Cahyo Prayogo

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: