Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Imelda Freddy mengatakan, tingginya harga jagung pakan membuat peternak ayam dan industri pakan makin tercekik. Pasalnya harga jagung sudah mencapai Rp5.200 per kilogram.
Lanjutnya, Naiknya harga jagung menjadi salah satu indikator kurangnya suplai jagung secara nasional. Di sisi lain batasan impor jagung masih terus dikumandangkan karena pasokan dalam negeri dianggap sudah memenuhi.?
"Jumlah produksi jagung nasional tidak bisa memenuhi jumlah konsumsi jagung nasional. Di saat yang bersamaan, pemerintah justru membatasi impor jagung tanpa memperhatikan pasokan memadai," katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Menurutnya, hal itu berdampak langsung kepada para produsen pakan ternak.?
"Lebih dari 45% pakan ayam berasal dari jagung sehingga kelangkaan jagung pasti akan memengaruhi produksi pakan nasional. Belum lagi jumlah produksi jagung harus berebut dengan permintaan konsumen yang ditujukan untuk non pakan ternak," ujarnya.?
Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan pasokan jagung guna menjaga stabilitas kebutuhan untuk bahan pokok pakan ternak. Menurutnya, jumlah produksi jagung sendiri saat ini masih tidak stabil di sepanjang tahun. Penyebabnya ada pergantian jenis komoditas pertanian yang dilakukan oleh pada petani.
Jika hal tersebut tidak segera diatasi, dan terjadi alih bahan baku pakan ke gandum, maka akan menimbulkan dampak negatif terhadap petani jagung. Hasil produksi mereka tidak terserap oleh pasar.
Terkait dengan target produksi jagung nasional sebesar 30 juta ton, Imelda menilai, hal tersebut tidak realistis. Menurutnya, proyeksi itu dihitung hanya berdasar potensi benih jagung yang dikalikan luas lahan dengan tidak mengikutsertakan variabel lainnya. Contohnya tidak ada penghitungan soal produksi panen yang tercecer saat proses distribusi atau pengangkutan dan produksi panen yang tidak memenuhi standar atau busuk.
Idealnya, untuk menghitung target produksi perlu beberapa variabel yang harus diikutsertakan. Mulai dari jagung yang busuk, jagung yang tercecer saat distribusi, variabel eksternal seperti cuaca, sistem irigasi, sampai serangan hama.?
"Selain itu, angka ini akan sulit dicapai karena mesin pengering masih jarang ditemui di desa-desa penghasil jagung. Dengan adanya mesin pengering, petani tidak perlu mengeringkan jagung di bawah terik matahari, mesin pengering juga akan sangat membantu petani saat musim hujan," jelas Imelda.
Selaras, Guru Besar Institu Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas mengamini, Naiknya harga pakan ternak bukan hanya karena kebutuhan jagung sebagai bahan bakunya tidak mencukupi. Lebih daripada itu, bergantungnya pakan ternak pada impor jagung membuat harganya terus terkerek tinggi.?
Ia mengemukakan, impor gandum yang melonjak tinggi dari tahun 2016 seakan menjadi substitusi dari dilarangnya impor jagung lewat Permentan Nomor 57 Tahun 2015 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Bahan Pakan Asal tumbuhan ke dan dari Wilayah Indonesia.?
Pada tahun 2016, impor gandum diketahui naik 3,1 juta ton dibandingkan tahun 2015. Di sisi lain menurut data UN Comtrade impor jagung pada tahun 2016 turun 2,1 juta ton . Merosot dari 2015 sebesar 3,3 juta ton menjadi 1,1 juta ton pada 2016.?
Melambungnya volume impor gandum, Dwi Andreas menjelaskan, tak lain masuk dalam kategori gandum untuk pakan. Di mana gandum jenis non pangan ini baru muncul setelah adanya pembatasan impor jagung pada tahun 2016.?
?Sekarang ini masih sampai 3 juta ton tiap tahunnya gandum untuk pakan yang sebelum tahun 2016 sama sekali tidak ada. Sangat kecil komponen gandum untuk pakan itu sebelumnya,? ucapnya kepada wartawan, Selasa (25/9).?
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: