Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Harga Pangan Terjangkau Bisa Cegah Peningkatan Malnutrisi Indonesia

        Harga Pangan Terjangkau Bisa Cegah Peningkatan Malnutrisi Indonesia Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013 yang dirilis Kementerian Kesehatan, kasus malnutrisi di Indonesia cenderung lamban diatasi. Kasus kekurangan nutrisi pada anak seperti stunting?(kerdil) dan wasting (kurus) masih berada dalam kondisi kronis dan akut, mengingat dua kasus ini menimpa 37,2% dan 12,1% atau lebih dari sembilan juta balita. Apabila dibandingkan dengan kondisi di 2007, angka stunting berada pada 36,8% dan wasting?pada 13,6%.

        Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengatakan, tingginya harga pangan berdampak, terutama pada masyarakat prasejahtera, karena 74% pengeluaran rumah tangga mereka hanya dialokasikan untuk komoditas makanan.

        Ketidakmampuan masyarakat prasejahtera dalam membeli makan akan mendorong perubahan pada pola konsumsi, di mana pilihan jenis pangan semakin terbatasi oleh harga dan akhirnya memengaruhi asupan gizi mereka. Ini lah yang mendorong tumbuhnya kasus malnutrisi di Indonesia.

        Dalam meningkatkan asupan nutrisi bagi masyarakat, diperlukan kerja sama dan tindakan kolektif dari semua pihak. Masyarakat perlu mengubah pola makan agar lebih bernutrisi. Selain itu, pemerintah perlu melakukan sosialisasi mengenai pedoman gizi seimbang.

        "Namun akan sangat disayangkan apabila makanan bernutrisi pada akhirnya tidak akan mampu terbeli oleh masyarakat. Di sini lah peran harga pangan menjadi penting untuk diperhatikan pemerintah," jelasnya.

        Dalam kaidah ilmu ekonomi, lanjut Ilman, menurunkan harga komoditas dapat dicapai dengan meningkatkan jumlah barang yang ada di pasar. Selama ini, pemerintah masih kalang kabut dalam menyediakan data pangan yang benar, terutama beras dan jagung.

        Kementerian Pertanian selalu bangga dengan predikat surplus yang dicapai pada komoditas tersebut. Namun realita di pasar tidak mencerminkan harga yang sesuai, sehingga Kementerian Perdagangan membuka keran impor agar harga pangan terjangkau, tentunya atas hasil Rapat Koordinasi di Kemenko Perekonomian yang dihadiri kementerian terkait dan Bulog.

        "Dengan mengandalkan harga sebagai parameter kondisi pasar, permintaan barang akan lebih terukur dengan baik. Dalam mendukung pencapaian ini, Bulog perlu diberikan keleluasaan untuk menganalisis kondisi pasar secara independen. Bulog selama ini mau tidak mau harus mengikuti instruksi Rapat Koordinasi yang cenderung tidak responsif dengan kondisi pasar yang sangat dinamis," ungkapnya.?

        Selain itu, pemerintah perlu menyadari kondisi sektor agrikultur Indonesia yang belum mampu mewujudkan swasembada pangan. Sampai saat ini Indonesia masih tetap bergantung dengan impor pangan. Atas dasar hal tersebut, sebaiknya pemerintah tidak perlu memperberat beban belanja masyarakat dengan mengenakan berbagai restriksi tarif dan non-tarif terhadap impor pangan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rosmayanti
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: