Tetap optimis di tengah pusaran badai. Ungkapan ini mewakili gambaran industri sawit Indonesia di triwulan I 2019. Pasalnya, berbagai tantangan baik dari dalam negeri, luar negeri, dan sentimen pasar dihadapi industri ini.
Awal tahun ini industri sawit digoyang oleh Uni Eropa dengan kebijakan renewable energy directive II (RED II) yang akan menerapkan kebijakan penghapusan penggunaan biodiesel berbasis sawit karena minyak sawit digolongkan memiliki risiko tinggi terhadap deforestasi (indirect land used change/ILUC), sedangkan minyak nabati lain digolongkan berisiko rendah.
"Meski dalam kekalutan, menurut Mukti, industri ini terus berperan menambal neraca perdagangan Indonesia yang minus dengan kinerja ekspornya," kata Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indoneisa (Gapki) dalam keterangannya, Kamis (16/5/2019).
Pada triwulan I 2019, kinerja ekspor minyak sawit secara keseluruhan (biodiesel, oleochemical, CPO, dan turunannya) meningkat 16% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau dari 7,84 juta ton triwulan I 2018 menjadi 9,1 juta ton di triwulan I 2019. "Artinya, ekspor minyak sawit Indonesia masih tumbuh meskipun di bawah harapan," tegasnya.
Pada Maret 2019 kinerja ekspor minyak sawit secara keseluruhan (biodiesel, oleochemical, CPO, dan turunannya) meningkat 3% dibandingkan bulan sebelumnya atau dari 2,88 juta ton menjadi 2,96 juta. Sementara ekspor khusus CPO dan produk turunannya hanya naik tipis, yaitu 2,77 juta ton di Februari, sedikit terkerek menjadi 2,78 juta ton di Maret.
Baca Juga: Sawit Indonesia: Tantangan dan Solusi Capai SDGs
Sentimen RED II Uni Eropa, setidaknya ikut menggerus kinerja ekspor Indonesia. Selain itu, lesunya perekonomian di negara tujuan utama ekspor, khususnya India, berdampak signifikan pada permintaan minyak sawit negara Bollywood ini.
Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang tak kunjung usai ikut memengaruhi perdagangan kedelai kedua negara yang berujung pada menumpuknya stok kedelai di AS. Pada Maret ini ekspor CPO dan turunannya dari Indonesia ke India turun tajam sebesar 62% atau dari 516,53 ribu ton di Februari meluncur bebas ke 194,41 ribu ton di Maret.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi India yang hampir memasuki ambang krisis menyebabkan berkurangnya permintaan minyak sawit India, baik dari Indonesia maupun Malaysia. Penurunan permintaan juga diikuti negara Afrika 38%, AS 10%, China 4%, dan Uni Eropa 2%.
Secara mengejutkan, ekspor minyak sawit ke negara lain-lain meningkat 60% dibandingkan bulan sebelumnya. Peningkatan permintaan CPO dan produk turunannya dari Indonesia yang terbilang signifikan datang dari Asia, khususnya Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia.
Beralih pada penyerapan biodiesel dalam negeri. Sepanjang Maret ini penyerapan biodiesel dalam negeri mencapai lebih dari 527 ribu ton atau turun 19% dibandingkan dengan Februari lalu yang mencapai 648 ribu ton.
Mukti menjelasakan, "Turunnya penyerapan biodiesel disinyalir karena keterlambatan permintaan dari Pertamina sehingga pengiriman ke titik penyaluran ikut terlambat."
Dari sisi harga, sepanjang Maret harga CPO global bergerak di kisaran US$510?US$550 per metrik ton dengan harga rata-rata US$528,4 per metrik ton. Harga rata-rata ini tergerus 5% dibandingkan harga rata-rata Februari US$556,5 per metrik ton.
Di Maret lalu, produksi minyak sawit meningkat 11% atau dari 3,88 juta ton di Februari menjadi 4,31 juta ton di Maret. Naiknya produksi ini tergolong normal karena hari kerja yang lebih panjang jika dibandingkan dengan Februari.
Baca Juga: 16 Juta Pekerja Sawit Terancam Kebijakan Diskriminasi Eropa
"Dengan produksi yang cukup baik, stok minyak sawit pada Maret masih terjaga dengan baik di 2,43 juta ton, meskipun turun 3% dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang bertengger di 2,50 juta ton," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti