Kalangan pekerja dan petani sawit terancam kebijakan Uni Eropa yang akan melarang penggunaan sawit sebagai bahan baku biofuel. Oleh karena itu, Uni Eropa harus mempertimbangkan keputusannya karena berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi di Indonesia.
Hal ini diungkapkan tiga pembicara, yaitu Sumarjono Saragih (Ketua Bidang Ketenagakerjaan Gapki), Nursanna Marpaung (Sekretaris Eksekutif Jejaring Serikat Pekerja/Serikat Buruh Sawit Indonesia), dan Irham Ali Saifuddin (Country Office ILO Indonesia dan Timor Leste) dalam Diskusi Forum Jurnalis Sawit yang bertemakan Membedah Peranan dan Kepatuhan Industri Sawit di Sektor Tenaga Kerja di Jakarta, Selasa (23 April 2019).
"Kami mengutuk tindakan EU (Europe Union/Uni Eropa) yang berencana menghentikan pembelian sawit dari Indonesia. Seharusnya Eropa tidak hanya melihat deforestasi. Tetapi pikirkan juga manusianya," kata Nursanna Marpaung, Sekretaris Eksekutif Sekretaris Eksekutif Jejaring Serikat Pekerja/Serikat Buruh Sawit Indonesia (Japbusi).
Baca Juga: Soal Sawit, Pemerintah Bakal Laporkan Uni Eropa ke WTO
Nursanna mengatakan, kebijakan Eropa akan berdampak pada keberlangsungan industri sawit terkait perlindungan sawit secara menyeluruh. Industri sawit di Indonesia berkontribusi bagi penyerapan tenaga kerja sebagai gambaran jumlah pekerja di perkebunan rakyat, swasta, dan negara sebanyak 3,78 juta orang dan terdapat 2,2 juta petani. Total jumlah pekerja yang terlibat dalam rantai pasok sawit mencapai 16,2 juta jiwa.
"Oleh karena itu, kami mendukung upaya pemerintah dalam rangka melawan diskriminasi sawit di Eropa. Pemerintah harus bersikap tegas karena ini menyangkut nasib para pekerja yang menggantungkan hidupnya dari sawit. Anggota kami di Japbusi hingga 2 juta orang bekerja di sawit," kata Nursanna.
Sumarjono Saragih, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Gapki, menjelaskan, ancaman nyata yang dihadapi industri sawit lantaran tingginya tuntutan dan standar di pasar global. Ada enam tuduhan yang kerap dialamatkan, yaitu status ketenagakerjaan, dialog sosial antara perusahaan dan pekerja, keselamatan dan kesehatan kerja, mempekerjakan anak, upah yang minim, dan lemahnya pengawasan pemerintah.
"Dengan isu lingkungan sudah kewalahan. Ditambah lagi isu anak dan pekerja. Kalau terus digaungkan, maka akan berdampak besar bagi industri," katanya.
Isu negatif ketenagakerjaan jika tidak bisa diselesaikan akan membuat iklim investasi ikut meredup. Sumarjono menyimpulkan industri sawit berada dalam ancaman. Di satu sisi, biaya operasional termasuk upah pekerja terus naik, tapi harga sawit fluktuatif dan produktivitas kebun cenderung stagnan.
Irham Ali Saifudin, Country Office ILO Indonesia dan Timor Leste, mengakui, dalam jangka pendek serta jangka panjang akan berdampak pada pekerja yang mencapai 16 juta pekerja. Hal ini berpengaruh karena Eropa termasuk pembeli utama.
Oleh karena itu, dia menyarankan perlu dibuat formulasi strategi yang baik untuk memperkuat aspek positif informasi sawit. Selain perlu juga industri menunjukkan itikad baik dalam rangka memperbaiki tata kelola perkebunan.
Baca Juga: Ekspor Sawit Indonesia ke Uni Eropa Anjlok Hingga 39%
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: