Pada tahun 2017 lalu, Presiden Joko Widodo mengutarakan kekhawatirannya jika bahaya yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia (NKRI) adalah melalui serangan berita bohong di media sosial.
Dan apa yang dikhawatirkan oleh mantan Walikota Solo ini terbukti benar. Melalui unggahannya di media sosial Twitter pada 18 Agustus 2019 kemarin, seorang WNI yang bernama Veronika Koman, membuat postingan yang bernada hoaks dan provokasi sehingga menjadi pemantik kerusuhan warga Papua di Surabaya, Jawa Timur; dan Jayapura, Papua.
Melalui konferensi persnya, Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan menuturkan, jika Veronica Koman sangat aktif mengunggah melalui media sosial Twitter mengenai segala hal tentang Papua yang bernada hoaks dan provokasi.
"Veronika membuat postingan yang bertuliskan anak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung, serta disuruh keluar ke lautan massa. Selanjutnya, 43 mahasiswa Papua ditangkap tanpa alasan yang jelas, lima terluka, satu kena tembakan gas air mata. Dan dari semua itu, kalimat postingannya menggunakan bahasa Inggris," ujar Luki beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Sedih, Kepala Negara Sedih Lihat Medsos Jadi Tempat Menghina
Tidak aneh jika media sosial yang biasa digunakan sehari-hari ini berisi begitu banyak orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal sama sekali. Mereka mengisi dinding media sosial. Namun tidak semua unggahan ini akurat informasinya dan tidak semua jelas asal-usulnya.
Menurut Sony Subrata selaku pakar komunikasi, media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, akhir-akhir ini telah menjadi sarana atau wadah bagi masyarakat Indonesia untuk mengekspresikan diri, saling berkomunikasi, berinteraksi dengan para pengguna yang lainnya.
"Media sosial itu bagai pisau tajam bermata dua. Kehadirannya di Indonesia telah mempersatukan banyak teman yang terpisah, mengumpulkan keluarga yang berbeda lokasi dan memperkenalkan teman-teman baru. Media sosial di Indonesia juga terbukti mempersatukan cinta kita akan NKRI dan membuat kita semakin menghayati pentingnya Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi, media sosial juga merupakan senjata digital yang digunakan oleh berbagai pihak untuk memecah-belah bangsa dan negara kita," ujar Sony Subrata di Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Sony juga menambahkan, apa yang terjadi di Surabaya dan Papua beberapa hari lalu merupakan dampak negatif dari penggunan media sosial yang tidak mempunyai batasan sama sekali.
"Kasus yang terbaru adalah insiden rasial yang kemudian memicu kerusuhan di Papua. Provokasi dilakukan oleh beberapa pihak dari dalam dan luar negeri yang menggunakan media sosial. Provokasi ini terbukti efektif dan akhirnya mengakibatkan munculnya korban luka dan bahkan meninggal dunia, selain kerugian materi dan kerusakan fisik gedung di berbagai tempat," tambah Sony.
Akibat kerusuhan yang terjadi di Papua kemarin, pemerintah pusat melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah membuat kebijakan dengan membatasi akses internet di hampir semua wilayah di Papua. Langkah ini diambil guna meminamalisir dampak lanjut berita hoax yang sudah masuk di wilayah Papua.
"Melihat pola pemanfaatan media sosial yang digunakan untuk membenturkan satu kelompok masyarakat dengan kelompok yang lain dari dalam maupun luar negeri maka insiden di Papua ini akan sangat mudah diduplikasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pembatasan akses internet oleh pemerintah telah dipersepsikan secara negatif di berbagai negara, padahal tujuannya adalah untuk mengurangi penyebaran hoax dan berita bohong yang begitu masif disebarkan," ungkap Sony.
Untuk menyelesaikan semua permasalahan ini, Sony menilai pemerintahan Jokowi perlu lebih tegas dan mempunyai rencana strategis untuk bisa memahami pola komunikasi di media sosial yang bisa mengancam keutuhan NKRI.
"Media sosial saat ini adalah senjata digital yang bisa digunakan oleh siapa saja, baik yang di dalam maupun di luar negeri untuk mengancam keutuhan NKRI. Untuk itu, pemerintah perlu tetap tegas, sekaligus lebih strategis dalam memahami pola komunikasi di media sosial agar bisa mengantisipasi ataupun meredam gejolak sosial yang dipicu dengan penyebaran informasi dan disinformasi di ranah digital," kata Sony.
Dari semua permasalahan di atas tadi, sebagai pakar komunikasi, Sony Subrata telah ikut mendukung riset yang dilakukan oleh Agus Sudibyo selaku penulis buku Jagat Digital: Pembebasan dan Penguasaan.?
Di dalam buku setebal 465 halaman ini, Agus Sudibyo memaparkan hasil risetnya dari berbagai negara, melihat dimensi-dimensi "anti-demokrasi" fenomena digitalisasi yang terlanjur melekat dengan terminologi demokratisasi.
Menurut rencana, buku hasil karya Agus Sudibyo yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) ini akan diluncurkan pada 17 September 2019 mendatang. Dalam buku ini, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara memberikan kata sambutan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: