Kisah Mualaf di Inggris yang Jalani Ramadan Selama Lockdown
Karantina wilayah membuat umat Islam di banyak negara tak bisa melakukan tradisi salat Tarawih berjamaah di masjid. Di Inggris, semua tempat ibadah ditutup untuk umum sejak akhir Maret, sebagai bagian dari upaya pemerintah menekan wabah Covid-19, dikutip BBC Indonesia.
Bagi Ivan Mathers, warga Inggris yang memeluk Islam tiga tahun lalu, Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini ia akui sangat berbeda.
"Biasanya kami ke masjid, salat Tarawih berjamaah … nuansa salat Tarawih [di masjid] tak mungkin dihadirkan di rumah," kata Mathers kepada wartawan BBC News Indonesia, Mohamad Susilo.
Baca Juga: Lebaran di Tengah Pandemi, Masyarakat Diminta Tetap Perhatikan Protokol Kesehatan
"Saya merindukan salat berjamaah di masjid saat Ramadan … beribadah di masjid di bulan Ramadan memberikan rasa tersendiri," katanya.
Namun di sisi lain, kata Mathers, beribadah di rumah menghadirkan peluang lain. Misalnya, sekarang ia makin punya banyak waktu mempelajari agama secara daring.
"Biasanya kami tak melaksanakan salat Tarawih berjamaah di rumah … ketika Ramadan mendekati ujung, saya menyadari bahwa ini juga adalah karunia yang sangat besar dari Allah," kata Mathers.
Ia mengatakan bahwa dalam Islam, hubungan Muslim dengan Allah tidak melalui imam atau tempat ibadah.
"Jadi, meskipun kita menjalani isolasi, kita tetap bisa mencapai koneksi spiritual," katanya.
"Pendek kata, spiritualitas Ramadan kali ini jelas berbeda [dari tahun-tahun sebelumnya] namun tentu saja tidak berkurang," kata Mathers.
Mathers menemukan Islam memalui sang istri, Muslimah kelahiran Malaysia. Sebelum memutuskan untuk mengucapkan syahadah, Mathers banyak membaca literatur tentang Islam.
"Semakin dalam saya membaca, semakin kuat keyakinan di hati saya … saya semakin tenang, bahwa keputusan memeluk Islam adalah keputusan yang benar," kata Mathers.
Sejak sebelum Ramadan, organisasi Muslim seperti Dewan Muslim Inggris (MCB) dan masjid-masjid utama di berbagai kota sudah mengeluarkan edaran tentang Ramadan di rumah.
Situasi lockdown membuat untuk pertama kalinya tidak ada Salat Ied berjamaah, baik itu di masjid maupun di lapangan terbuka.
Bagi komunitas Muslim, yang secara keseluruhan berjumlah 3,3 juta menurut survei tahunan badan statistik Inggris, merayakan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri secara individu "membuat sedih dan prihatin", kata Miqdaad Versi, pengurus MCB, yang memayungi berbagai organisasi Muslim di Inggris.
"Biasanya, pada hari raya Idul Fitri, keluarga Muslim sejak pagi beramai-ramai mendatangi masjid," kata Versi.
Masjid menjadi arena pertemuan keluarga, saudara jauh, dan sahabat,
"Jadi dari perspektif keagamaan, situasi [lockdown] ini sangat sulit. Biasanya, Muslim mengenakan pakaian terbaik dan menunaikan salat Id di masjid … dan kali ini, itu tak dimungkinkan," katanya.
Qari Muhammad Asim, iman di Masjid Makkah di Leeds yang juga pengurus dewan masjid dan imam di Inggris mengatakan tidak adanya salat Ied ini tak terbersit sama sekali di benak kaum Muslimin enam bulan lalu.
"Hal yang dirasa tak mungkin itu sekarang menjadi kenyataan. Komunitas Muslim sangat menantikan salat Ied. Ini menjadi tantangan tersendiri," katanya.
Asim mengatakan situasi lockdown membuat warga Muslim harus "melakukan pengorbanan spiritual" misalnya dengan tidak melakukan salat Tarawih berjamaah di masjid.
Dan sekarang "pengorbanan" berlanjut dengan tidak merayakan Id secara komunal, secara bersama-sama.
Biasanya, setelah sholat Ied, keluarga Muslim pergi ke taman-taman kota. Tak sedikit pengurus masjid yang secara khusus menyelenggarakan festival seharian penuh di taman kota.
Anak-anak bisa bermain, sementara orang dewasa bisa silaturahim sambil menikmati makanan di udara terbuka.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajria Anindya Utami