Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Zero Waste Sawit: Value Added dari Limbah Pemurnian Minyak Goreng

        Zero Waste Sawit: Value Added dari Limbah Pemurnian Minyak Goreng Kredit Foto: Agus Aryanto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Dikenal sebagai komoditas zero waste, limbah padat dan cair dari industri pengolahan kelapa sawit mampu menghasilkan produk inovasi yang juga bernilai ekonomi tinggi. Dalam PP Nomor 101/2014 mengenai Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, SBE (Spent Bleaching Earth atau sisa pemurnian industri minyak goreng) dengan kode B 413 digolongkan sebagai limbah B3 dari sumber spesifik khusus.

        Kendati demikian, mengingat besarnya potensi yang dimiliki dan nilai tambah untuk dijadikan recovered oil, kalangan industri kelapa sawit meminta agar SBE tidak dikategorikan ke dalam limbah B3.

        Baca Juga: Pandemi Tak Bikin Surut Ekspor Sawit di Sumut

        Dalam laporan GIMNI, negara-negara pengolah minyak nabati menjadi refined oils– seperti Malaysia, Eropa, India, dan lainnya juga penghasil SBE, tetapi SBE tersebut tidak dikategorikan limbah B3. Malaysia misalnya, memasukkan SBE ke dalam Solid Waste Regulation dan harus diolah dan diuji TCLP jika akan digunakan untuk land-filling. Akibatnya, Malaysia dapat mengklaim produknya sangat sustainable dan lebih berdaya saing di pasar global.

        Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga, menjelaskan, penetapan SBE sebagai B3 oleh KLHK justru merugikan pelaku usaha minyak goreng dan produk hilir lainnya. SBE dapat diolah menjadi produk bernilai tambah melalui teknologi solvent extraction.

        Teknologi Solvent Extraction dapat mengolah B3 SBE menjadi produk seperti pasir De-OBE dan minyak R-Oil. Produk yang dihasilkan dari ekstraksi ini antara lain subtitusi pasir untuk pembuatan bahan bangunan, bahan pupuk mikronutrisi, pelapis dasar jalan raya, bahan baku keramik, re-use bahan baku bleaching earth, dan bahan baku semen.

        Lebih lanjut Sahat berpendapat, SBE masuk pada kategori 2 karena memiliki efek tunda yang berdampak tidak langsung pada manusia dan lingkungan hidup serta memiliki toksisitas, sub-kronis atau kronis. Uji Karakteristik LB3 sesuai peraturan yang tertulis di Lampiran II–PP 101/2014, telah dilaksanakan oleh sejumlah perusahaan dan tidak menunjukkan adanya petunjuk ke arah toksisitas, subkronis atau kronis. Kendati demikian, belum ada solusi yang diberikan oleh KLHK.

        Sahat juga menjelaskan, dalam 5 tahun terakhir hanya terdapat 3 unit pengolahan SBE melalui teknologi Solvent Extractor yang berdiri dari target 20 unit. Solvent Extractor tersebut terletak di Sentul, Jawa Barat yang beroperasi sejak 2016, tetapi saat ini kondisinya mati suri. Pabrik kedua berlokasi di Tanjung Morawa, Sumatera Utara dan beroperasi tahun 2017, dan pabrik ketiga berada di Gresik, Jawa Timur yang saat ini masih dalam tahap pembangunan.

        Dijelaskan Sahat, terdapat satu perusahaan Solvent Extractor yang sudah beroperasi dari tahun 2015–2017, tetapi kemudian menghentikan operasinya pada 2018 karena berbagai alasan. Antara lain, banyak pemilik izin Pengelola Limbah B3 (padahal tidak memiliki fasilitas) yang menawarkan biaya olah SBE yang berkisar Rp450–Rp500/kg, sedangkan biaya pengolahan dengan Solvent Extractor berkisar Rp1.000-Rp1.150/kg. Persoalan lainnya adalah biaya angkut ke calon pengguna SBE seperti batako dan pengerasan pondasi sekitar 20 persen di atas biaya normal.

        "Tidak ada komitmen dari industri pengolah secara konsisten untuk menanggulangi SBE  ini," ujar Sahat. Sahat menghitung dengan perkiran volume SBE antara 600 ribu ton sampai 750 ribu ton, akan  dibutuhkan 17 unit pengolahan SBE menjadi recovered oil (R-oil) dan De-Oiled Bleaching Earth (OBE).

        Setelah kejadian yang menghebohkan terkait limbah SBE di Marunda, Jakarta pada Januari 2019 lalu, sebenarnya banyak perusahaan berizin pengelolaan limbah B3 tidak lagi menampung SBE. Akibat kemacetan out-flow dari SBE ini, limbah SBE menumpuk dilokasi pabrik refinery dan bahkan mengalami kesulitan untuk berproduksi karena ruang untuk penimbunan SBE sudah tidak mumpuni.

        Perlu diingat, hasil penelitian menunjukkan, setiap 60 juta ton produksi minyak sawit akan menghasilkan sekitar 600 ribu ton limbah SBE. Peningkatan jumlah industri minyak nabati juga berdampak pada peningkatan jumlah limbah SBE yang dihasilkan sehingga akan menimbulkan masalah baru jika tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik. Minimnya jumlah pabrik B3 di Indonesia, sementara limbah SBE yang dihasilkan diperkirakan makin banyak setiap tahunnya, maka dibutuhkan investor agar tertarik berinvestasi di pengolahan SBE.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ellisa Agri Elfadina
        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: