Sejak kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) diberlakukan Uni Eropa, black campaign terhadap sektor industri perkebunan kelapa sawit semakin beragam.
Kebijakan yang mencanangkan minyak kelapa sawit sebagai feedstock biodiesel UE atas dasar menurunkan emisi dan deforestasi global tidak dapat diterima dan merupakan crop apartheid.
Peneliti Utama Pengolahan Hasil dan Mutu Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Donald Siahaan mengatakan, "seperti kebijakan apartheid masa lalu yang menganggap bangsa kulit berwarna statusnya lebih rendah dari kulit putih, demikian juga kebijakan ini menganggap sawit yang diproduksi Indonesia, Malaysia, dan beberapa negara lainnya dianggap sebagai komoditas rendahan yang tidak boleh digunakan untuk biodiesel di sana. Kita sebagai penghasil minyak sawit terbesar harus melawan."
Baca Juga: Pecah Telur! Kelompok Sawit Swadaya Ini Dapat Sertifikat RSPO
Kebijakan UE ini harus dilawan dengan cara benar dan dasar yang kuat. Hal ini bukan hanya persoalan teknis dan lingkungan, tetapi persaingan dagang antara minyak sawit Indonesia dan Malaysia melawan rapeseed oil yang diproduksi UE.
Indonesia sudah sangat serius merespons hal ini dengan menggugat kebijakan UE tersebut ke forum WTO. Tidak hanya itu, Kementerian Perdagangan RI juga mengadakan pertemuan berkala dengan berbagai pihak untuk membawa data yang diperlukan dalam gugatan ini.
Jika melihat data, UE memang bukan merupakan pasar skala kecil. Sepanjang 2019, UE tercatat menjadi negara kedua terbesar pengimpor CPO dan produk turunannya dari Indonesia dengan volume mencapai 5,74 juta ton.
Nilai impor biodiesel Indonesia tahun 2014–2017 sekitar US$10,4–US$26,8 juta (atau sekitar Rp152,88 miliar–Rp393,96 miliar) dengan share sekitar 0,16–0,32 persen. Namun, angka tersebut melonjak drastis pada 2018 menjadi US$631,3 juta (atau sekitar Rp9,28 triliun) dengan share 5,33 persen. Sekitar 40 persen dari impor minyak sawit tersebut digunakan UE untuk sumber energi (biofuel).
Revisi kebijakan RED II dari hanya Direct Land Use Change (DLUC) menjadi Indirect Land Use Change (ILUC) didasari pemikiran penggunaan bahan baku yang semula lahannya untuk pangan dan pakan secara tidak langsung mendorong ekspansi lahan.
Dengan berbagai model ekonomi yang tidak ilmiah oleh UE dihasilkan angka absolut ILUC factor minyak sawit sebesar 231 gCO2e per MJ sehingga digolongkan berisiko tinggi.
Berdasarkan angka tersebut, minyak sawit untuk biodiesel mulai Desember 2013 harus di-phase out dengan impor paling tinggi sebesar tahun 2019, dan tahun 2031 harus nol. Meskipun kebijakan ini seolah menghambat dan menutup kemungkinan ekspor ke UE, namun citra minyak kelapa sawit masih tetap dapat diperbaiki dan dipertahankan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: