Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Freeport Negosiasi Kewajiban Bangun Smelter, PKS: Luhut, Mana Galaknya?

        Freeport Negosiasi Kewajiban Bangun Smelter, PKS: Luhut, Mana Galaknya? Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menyesalkan sikap PT Freeport Indonesia (PTFI) yang terkesan mengabaikan kewajiban pembangunan smelter sebagai syarat mendapatkan perpanjangan izin operasional dan izin ekspor konsentrat tembaga.

        Menurut Mulyanto, kewajiban membangun smelter bagi perusahaan tambang adalah amanat UU yang harus dipatuhi bersama. Jadi, tidak pantas jika pihak PTFI mencoba menawar ketentuan UU yang sudah disahkan dan diberlakukan. 

        "Tekait kewajiban pembangunan smelter yang diatur dalam UU Nomor 3/2020 tentang Minerba bagi perusahaan tambang tembaga, sepantasnya tidak ditawar-tawar lagi. Proses pembentukan dan pengesahan UU tersebut sudah lewat. Kini saatnya kita melaksanakan UU tersebut secara konsekuen dan bertanggung-jawab," tegas Mulyanto dalam keterangannya, Senin (2/11/2020). 

        Baca Juga: Pancasila adalah Dasar & Ideologi Negara yang Tidak Boleh Diganti

        Menurut Mulyanto, pemerintah harus tegas mengingatkan PTFI tentang kewajiban pembangunan smelter tersebut. Pembangunan smelter ini adalah kewajiban UU, obligasi bagi setiap elemen masyarakat kepada negara, bukan tawar-menawar bisnis yang bersifat horizontal. 

        "Ini adalah soal hubungan vertikal-struktural antara unsur-unsur masyarakat dengan negara, sebagai wujud pelaksanaan konstitusi kita. Karenanya harus dimengerti bahwa itu tidak bersifat tawar-menawar, namun mengikat (binding) dan memaksa (compulsary)," ujar Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Industri dan Pembangunan ini.

        Sambungnya, "kita kan negara hukum. Semestinya PTFI menghormati UU yang berlaku di negeri ini.  Jangan menganggap semua hal sebagai urusan dagang yang bisa dinegosiasikan. Ini adalah fakta, rule of the game, bila ingin hidup di Indonesia."

        "Apalagi sejak akhir 2018, mayoritas saham PTFI sebanyak 51% adalah milik Indonesia. Jadi secara teoritis ini adalah BUMN kita. Karenanya menjadi tidak masuk akal kalau BUMN ingin menabrak UU. Ini preseden buruk, bagi tata kelola pengusahaan sumber daya alam di Indonesia," tegasnya.

        Menurutnya, hal ini sudah kelewatan. "Saya protes keras. Sebab UU dibuat untuk dipatuhi oleh kita bersama, bukan dianggap sebagai angin lalu. Ini benar-benar melecehkan Indonesia sebagai negara hukum."

        "Menko Luhut Pandjaitan juga terkesan hanya galak pada smelter nikel. Tidak terdengar suaranya terkait dengan smelter tembaga PTFI ini," imbuh Mulyanto.

        Mulyanto menyorot kemajuan proyek pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) baru PTFI yang hingga Juli 2020 baru mencapai 5,86% dari target seharusnya 10,5%.

        Menurut Mulyanto, pemerintah mestinya konsisten dengan aturan yang dibuat yakni bersikap tegas dan menjatuhkan sanksi kepada PTFI karena lalai mematuhi target kemajuan pembangunan smelter.

        Mulyanto menyoroti pelaksanaan Surat Keputusan Menteri ESDM No.154 K/30/ MEM/2019, tentang ketentuan kemajuan fisik pembangunan smelter yang paling sedikit 90% dari target yang ada. Bila tidak tercapai, pemerintah berhak menjatuhkan sanksi penghentian sementara persetujuan ekspor konsentrat.

        Selain itu, perusahaan smelter wajib membayar denda administratif sebesar 20% dari nilai kumulatif penjualan mineral ke luar negeri selama enam bulan terakhir. Serta beberapa sanksi administratif lainnya.

        Menurut Mulyanto, hitungan kasar pencapaian kemajuan fisik smelter Freeport masih di bawah 50%. Karenanya sanksi itu harus segera diputuskan pemerintah.

        "Ini penting. Kalau pemerintah bersikap lembek dan tidak konsisten terhadap aturan yang ada, jangan heran kalau pengusaha tambang, ogah-ogahan dalam membangun fasilitas ini dan menuntut untuk dapat mengekspor konsentrat.

        Bahkan Freeport secara berani dan terang-terangan melempar wacana untuk melanggar UU 3/2020, dengan mengusulkan penundaan target pembangunan smelter melebihi batas waktu yang ditetapkan UU, yakni 2023.

        Sebelumnya pelanggaran UU ini diajukan dengan alasan musibah Covid-19. Kemudian muncul alasan baru bahwa pembangunan smelter adalah proyek rugi. "Inikan sungguh lugas secara terbuka melawan UU," kata Mulyanto.

        "Kita sudah hapal dengan gaya ini. Karena sudah ada preseden sebelumnya. Pelanggaran UU No.4/2009 pertama kali dilakukan PTFI tahun 2014 dengan tetap mengekspor konsentrat dan itu berlanjut sampai 2018, padahal amanat UU No.4/2009, smelter harus beroperasi tahun 2014," tambahnya.

        Baca Juga: Blak-blakan Erick Thohir: Siap Dicopot Jokowi hingga Kisruh PT BNI

        Pada 2018,  salah satu syarat bagi PTFI untuk mendapatkan perpanjangan dan perubahan skema dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) adalah pembangunan smelter.  Nyatanya hingga hari ini syarat juga tidak dipenuhi. Sekarang PTFI minta relaksasi kembali untuk melanggar UU No.3/2020.

        "Karenanya saya mendesak pemerintah untuk tegas melaksanakan dan mengawal amanat UU 3/2020 sebagai perubahan atas UU 4/2009 tentang Minerba, khususnya pasal 170A.  Pemerintah jangan lembek, apalagi ikut melanggar UU tersebut," tandas Mulyanto. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: