Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Menggali Rencana Ambisius Joe Biden buat Atasi Perubahan Iklim

        Menggali Rencana Ambisius Joe Biden buat Atasi Perubahan Iklim Kredit Foto: Sindonews
        Warta Ekonomi, Washington -

        Rencana Joe Biden untuk mengatasi perubahan iklim disebut sebagai yang paling ambisius dari seorang kandidat presiden AS. Koresponden lingkungan BBC News Matt McGrath mempertimbangkan tujuan Biden, serta langkah-langkah yang bisa ia ambil untuk mewujudkannya.

        Akan ada banyak tanggapan tentang janji Joe Biden untuk bergabung kembali dengan Perjanjian Iklim Paris, pakta internasional yang dimaksudkan untuk mencegah pemanasan global yang berbahaya bagi Bumi.

        Baca Juga: Banyak Negara Kecewa atas Mundurnya AS dari Perjanjian Iklim, Kenapa?

        Presiden Donad Trump menarik AS dari Perjanjian Paris setelah pemerintahan Obama menandatanganinya pada 2016. Namun, selama penghitungan suara dalam pemilihan presiden pekan lalu berlangsung, Biden menegaskan bahwa membalikkan keputusan tersebut akan menjadi salah satu tindakan pertamanya sebagai presiden.

        Namun kunci dari kredibilitasnya di panggung internasional adalah kebijakan domestik tentang pemangkasan emisi karbon.

        Politikus Demokrat yang lebih bersemangat, seperti anggota Kongres, Alexandria Ocasio Cortez, telah mengajukan proposal yang disebut Green New Deal, yang akan mengeliminasi emisi karbon dari sebagian besar sumber dalam satu dekade. Rencana iklim Biden cenderung moderat.

        Meski begitu, jika dilaksanakan, ia tetap akan menjadi strategi iklim paling progresif yang pernah dilakukan AS.

        'Net zero' pada 2050

        Biden berencana untuk membuat produksi energi AS bebas-karbon pada 2035 dan mendorong negeri itu mencapai net nol (net zero) emisi pada pertengahan abad.

        Untuk mencapai net nol, setiap emisi karbon harus diimbangi dengan penyerapan jumlah yang setara dari atmosfer dengan, salah satunya, menanam pohon.

        Setelah menjabat, Joe Biden ingin membelanjakan $2 triliun selama empat tahun untuk menurunkan emisi dengan memutakhirkan empat juta gedung untuk membuat mereka lebih efisien energi.

        Ia ingin menghabiskan banyak anggaran untuk transportasi publik, berinvestasi di manufaktur kendaraan listrik serta tempat pengisian daya, dan memberi konsumen insentif finansial untuk menukar kendaraan berbahan bakar fosil dengan mobil yang `lebih bersih`.

        Semua opsi ini memuat satu komponen tambahan selain memangkas karbon: mereka menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang.

        Andrew Light, mantan pejabat iklim senior di pemerintahan Obama, mengatakan Biden fokus pada solusi yang dapat menurunkan emisi sekaligus meningkatkan lapangan kerja.

        "Akan ada dorongan besar untuk kendaraan listrik, dorongan besar untuk bangunan efisien, baik tempat tinggal maupun kantor, dorongan besar untuk menciptakan satuan konservasi jenis baru yang beranggotakan warga sipil serta melakukan banyak solusi berbasis-alam untuk perubahan iklim.

        "Anda punya menu yang sangat bagus untuk dipilih dari semua sektor ini."

        Biden juga berkata ia tidak akan mengizinkan fracking di lahan federal. Fracking adalah proses pengeboran yang menyuntikkan zat kimia ke dalam batuan untuk melepaskan gas alam dan minyak; metode ini kontroversial karena dampak lingkungannya.

        Bagaimanapun, karena sekitar 90% fracking terjadi di lahan negara bagian atau pribadi, mayoritasnya tidak akan terdampak kebijakan ini.

        Target temperatur global 'dalam jangkauan'

        Perjanjian Paris bertujuan menjaga kenaikan temperatur global "jauh di bawah" 2,0C, namun pada 2018 para saintis PBB mengklarifikasi bahwa menekannya sampai 1,5C akan membuat banyak perbedaan.

        Target 1,5C itu dapat mencegah negara-negara kepulauan kecil tenggelam ditelan gelombang, ia bisa memastikan jutaan orang terhindar dari bencana akibat cuaca ekstrem, ia bisa mengecilkan peluang semua es di Arktik meleleh pada musim panas.

        Para ilmuwan berkata tujuan Biden mencapai emisi net nol pada pertengahan abad bisa berdampak signifikan pada target 1,5C.

        "Dengan pemilihan Biden, China, AS, UE, Jepang, Korea Selatan - dua pertiga ekonomi dunia dan [sumber] lebih dari 50% emisi gas rumah kaca dunia - akan punya [komitmen untuk mencapai] net-nol emisi gas rumah kaca pada pertengahan abad ini," kata Bill Hare, bagian dari Climate Action Tracker, yang memantau rencana pemangkasan karbon negara-negara di dunia.

        "Ini bisa menjadi titik balik historis."

        Untuk pertama kalinya, ini menempatkan batas 1,5C dalam Perjanjian Paris dalam jangkauan, ujarnya.

        Perlu banyak kompromi

        Seorang Demokrat akan duduk di Gedung Putih, namun partai Republik saat ini menguasai Senat AS dan sejauh ini menunjukkan keengganan untuk menghabiskan uang untuk menstimulasi ekonomi, meski di masa pandemi.

        Posisi itu bisa berubah jika - seperti yang diramalkan beberapa orang - pemilihan putaran kedua di Georgia memberi Demokrat kendali atas Senat.

        Tapi jika tidak, masih ada alasan bagi Presiden-terpilih Biden untuk percaya majelis tinggi mungkin terbuka pada sebagian rencana iklimnya.

        Meskipun Presiden Trump telah mengambil pendekatan yang terang-terangan anti-iklim, retorika dari beberapa politikus Republik telah menghalus dalam dua tahun terakhir.

        Telah ada preseden kooperasi yang bisa dijadikan contoh. Pada September, Demokrat dan Republik berkooperasi dalam RUU untuk memangkas penggunaan hidroflorokarbon (HFC), kelompok gas yang biasa digunakan sebagai refrigeran (pendingin).

        Kelompok tersebut mencakup beberapa gas rumah kaca paling kuat yang diketahui sains.

        Pada bulan yang sama, Senat juga meloloskan RUU bertajuk "Bipartisan Wildlife Conservation Act", yang dimaksudkan untuk memperbaiki konservasi spesies dan melindungi ekosistem vital.

        Joe Biden juga lebih paham dari banyak politikus tentang cara menavigasi majelis tinggi; ia dipilih ke senat enam kali sebelum menjadi wakil presiden Barack Obama.

        Jika sang presiden-terpilih bisa merancang rencananya sedemikian rupa sehingga menciptakan lapangan kerja dan infrastruktur baru, sembari mengurangi emisi karbon, ia bisa menemukan jalan ke depan yang bisa diterima kedua pihak.

        "Saya pikir Anda bisa mendapatkan banyak kesamaan hanya dengan kebijakan bagus yang juga berdampak pada iklim," kata Katie Tubb, analis kebijakan senior dari lembaga kajian konservatif, Heritage Foundation.

        Masalah di Mahkamah Agung?

        Jika ia dan Senat tak bisa sepakat akan suatu undang-undang, Presiden terpilih Biden bisa mengeluarkan perintah eksekutif, seperti yang pernah dilakukan Presiden Obama dan Trump.

        Presiden Trump menggunakannya untuk membatalkan puluhan regulasi lingkungan tentang produksi minyak dan gas, serta standar jarak tempuh untuk mobil dan truk.

        Diharapkan akan banyak dari kebijakan pembatalan Trump itu sendiri akan dibatalkan pada awal pemerintahan Biden.

        Namun kelemahan dari pendekatan eksekutif adalah ia bisa ditantang secara hukum. Presiden Obama menggunakan perintah eksekutif untuk menerapkan kebijakan iklim yang penting, Clean Power Plan, tetapi perintah tersebut diblokir oleh Mahkamah Agung.

        Jika Presiden terpilih Biden mengambil jalan ini, Mahkamah Agung bisa menjadi batu sandungan.

        Mahkamah pada akhirnya akan memutuskan setiap litigasi atas proposal iklimnya, dan dengan mayoritas hakim konservatif di pengadilan tertinggi itu, ini bisa menjadi masalah yang cukup besar bagi Joe Biden.

        Glasgow menjadi Paris yang baru

        Keputusan Presiden Trump untuk menarik diri dari perjanjian Paris mulai berlaku pada 4 November - sehari setelah pemilihan presiden.

        Sebulan setelah pemerintahan Biden memberi tahu PBB tentang keputusannya untuk bergabung kembali, AS akan sekali lagi menjadi bagian dari upaya global untuk menekan perubahan iklim - hal yang sangat menggembirakan bagi para diplomat iklim.

        "Ini pastinya akan menjadi langkah positif, tidak hanya karena mereka (AS) adalah pemain besar, tapi saya rasa karena ini benar-benar menegaskan fakta bahwa AS percaya pada sains perubahan iklim," kata Carlos Fuller, negosiator utama untuk Aliansi Negara-Negara Pulau Kecil (Aosis) dalam pertemuan iklim tahunan PBB.

        Pertemuan tahunan yang disebut COP (conference of the parties) ini adalah mekanisme tempat negara-negara setuju untuk menurunkan emisi karbon mereka. Dan kepemimpinan AS sangat penting untuk proses ini.

        Dengan China, Jepang, dan Korea Selatan menetapkan tujuan jangka panjang untuk mengurangi karbon, harapan meningkat bahwa KTT iklim COP26 PBB, yang diadakan di Glasgow pada November 2021, mungkin akan berhasil.

        Pemerintah Inggris, yang akan memimpin perundingan Glasgow, ingin setiap negara memperbarui rencana pemangkasan karbon nasional mereka dengan target yang lebih tegas dari yang mereka ajukan pada 2015. Mereka juga ingin sebanyak mungkin negara berkomitmen untuk mencapai nol emisi pada tahun 2050.

        Kembalinya AS ke upaya iklim, di bawah Presiden terpilih Biden, akan membawa kedua tujuan tersebut dalam jangkauan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: