Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Sederet Bentuk Diskredit Uni Eropa terhadap Minyak Kelapa Sawit

        Sederet Bentuk Diskredit Uni Eropa terhadap Minyak Kelapa Sawit Kredit Foto: Antara/Irwansyah Putra
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sejak beberapa tahun terakhir, industri perkebunan kelapa sawit Indonesia telah mendapatkan perlakuan diskriminasi dari sejumlah lembaga hingga negara antisawit, terutama Uni Eropa.

        Melansir laporan PASPI Monitor, berikut bentuk kebijakan dan lingkup bisnis yang dilakukan Komisi Uni Eropa terkait diskriminasi kelapa sawit nasional. Pertama, industri perkebunan kelapa sawit dikaitkan dengan isu deforestasi dan kerusakan lingkungan yang dimuat dalam Delegated Regulation (DR) dan Renewable Energy Directive II (RED II).

        Dalam kebijakan RED II ILUC dan DR tersebut, Komisi Uni Eropa menggolongkan minyak sawit sebagai high risk Indirect Land Use Change (ILUC) karena produksi minyak sawit yang digunakan sebagai bahan baku biodiesel dianggap menyebabkan terjadinya konversi hutan atau lahan dengan stok karbon tinggi untuk lahan produksi pangan/pakan. Implikasinya, penggunaan minyak sawit sebagai feedstock biodiesel Uni Eropa akan dikurangi secara drastis dan harus di-phase-out pada 2030 mendatang. 

        Baca Juga: Ekspor Minyak Sawit Nasional Oktober Sentuh Rp29,24 Triliun

        Kedua, adanya kebijakan French Fuel Tax yang diberlakukan oleh Pemerintah Prancis yang berkaitan dengan pengecualian biodiesel sawit dari skema penurunan tarif pajak pada produksi renewable and sustainable biofuel, meskipun minyak sawit yang digunakan sebagai feedstock biodiesel tersebut berasal dari minyak sawit yang sustainable.

        Ketiga, Uni Eropa juga telah mengeluarkan kebijakan European Green Deal (EGD) dalam rangka mewujudkan kawasan Uni Eropa sebagai climate netral pada 2050.

        Kebijakan EGD ini juga didukung oleh instrumen kebijakan lainnya seperti: (1) Proposal European Climate Law; (2) Kebijakan Decarbonising the Energy System; dan (3) Kebijakan Pajak Karbon. Kebijakan-kebijakan tersebut akan semakin mendorong penggunaan sumber energi ramah lingkungan (seperti energi listrik) serta menghilangkan sumber energi yang dianggap tidak ramah lingkungan dan jejak karbon tinggi. 

        Keempat, Komisi Uni Eropa juga menerapkan Non-Tariff Measures (NTM) untuk produk minyak sawit. Atas pengajuan dari European Biodiesel Board (EBB), Uni Eropa beberapa kali berupaya mengenakan NTM untuk produk biodiesel sawit Indonesia.

        Seperti yang terjadi pada November 2013, Uni Eropa mengenakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) sebesar 8,8–20,5 persen terhadap lima eksportir Indonesia. Namun, Indonesia mengajukan gugatan terhadap kebijakan tersebut kepada BMAD dan gugatan tersebut dimenangkan oleh Indonesia.

        Komisi Uni Eropa kembali melakukan investigasi antisubsidi terhadap biodiesel Indonesia sejak Desember 2018. Hasil subsidi tersebut memutuskan tujuh eksportir Indonesia dikenakan Countervailing Duties (CVD) sebesar 8–18,8 persen terhitung Januari 2020–2025.

        Baca Juga: CPO Jadi Penyelamat Ekspor November 2020

        Kelima, dalam lingkup bisnis/industri, maraknya label Palm Oil Free (POF) dalam consumer goods yang diperdagangkan di kawasan Uni Eropa merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang dilakukan negara tersebut.

        Meskipun tidak didukung oleh kajian ilmiah, namun labelisasi tersebut semakin gencar dilakukan oleh industri atau pengusaha yang menyasar konsumen Uni Eropa yang telah memiliki persepsi negatif terhadap minyak sawit seperti minyak yang tidak sehat, tidak ramah lingkungan, driver deforestasi, serta tidak menghormati HAM. 

        Terkait kebijakan RED II ILUC, DR, dan French Fuel Tax, Pemerintah Indonesia tengah berjuang melawan Komisi Uni Eropa di WTO dengan melayangkan gugatan terhadap kebijakan-kebijakan tersebut. Dalam laporan PASPI Monitor dituliskan, untuk meng-counter isu negatif lainnya dari Uni Eropa, dibutuhkan strategi komprehensif dalam menangani hal tersebut dengan melibatkan seluruh pihak Indonesia, baik pemerintah, pelaku usaha, media dan NGO, dengan memanfaatkan berbagai forum internasional.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ellisa Agri Elfadina
        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: