Lho, Dokter Kulit Italia Benarkan Warga Milan dengan Keluhan Ruam Kulit Jadi Patient Zero Covid
Kasus Covid-19 paling awal yang dikonfirmasi di Italia kemungkinan terkait dengan keluhan ruam pada lengan seorang perempuan muda yang mengunjungi rumah sakit Milan pada November 2019. Hal ini terungkap dari pemeriksaan ulang bahan sampel yang dikumpulkan pada saat itu.
Raffaele Gianotti selaku dokter kulit di University of Milan mengatakan, Sars-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19, telah ditemukan di jaringan kulit yang diawetkan dari perempuan berusia 25 tahun itu. Didiagnosis dengan kelainan autoimun yang langka, perempuan tersebut kini kemungkinan adalah "patient zero" atau pasien Covid-19 pertama Italia.
Baca Juga: Ahli Jerman Beberkan Sumber Virus Corona Ternyata Bukan di Wuhan, Tapi di Italia
Covid-19 tidak diketahui hingga awal Januari 2020, ketika para peneliti China mengisolasi virus baru yang menjadi penyebab wabah dari pasar makanan laut di pusat kota Wuhan. Sejak itu, virusnya telah dilaporkan ada di seluruh dunia, menginfeksi dan membunuh jutaan orang.
"Pasien kami dapat mewakili kasus tertua dalam literatur deteksi virus pada sampel jaringan," kata Gianotti, dilansir South China Morning Post pada Kamis (14/1/2021).
Gianotti melakukan penelitian bersama peneliti Spanyol dan Inggris. Hasil penelitian berupa makalah itu yang ditinjau oleh rekan sejawat yang diterbitkan dalam British Journal of Dermatology pada Kamis pekan lalu.
Menurut para peneliti, perempuan tersebut mengalami sakit tenggorokan. Tidak ada gejala lain dan pemeriksaan menyeluruh tidak memberikan petunjuk mengenai penyebab iritasi kulit tersebut.
Dokternya kemudian mengubak ruam tersebut dan mengambil sampel inti jaringan kulit. Karena tidak menemukan apa-apa, mereka memilih untuk menyimpan sampel.
Begitu gelombang pertama pandemi menerpa Eropa pada Juli, mereka baru teringat lagi akan ruam misterius tersebut. Ruamnya tampak mirip dengan yang muncul pada beberapa pasien Covid-19.
Sejumlah penelitian lain oleh para peneliti di Italia dan lainnya menunjukkan bahwa virus memang dapat menyebabkan ruam. Awalnya, perempuan itu diduga kena lupus erythematosus tumidus, penyakit berat yang membuat sistem kekebalan tubuh menyerang sel sehat.
Biasanya, butuh dua hingga tiga tahun untuk sembuh dari kondisi tersebut. Namun, pada April 2020, ruam perempuan itu sirna dan menyisakan misteri tentang penyakit apa yang sebetulnya diidapnya.
Pada Juni, perempuan tersebut tes antibodi Covid-19-nya positif. Sebulan kemudian, dokter mengeluarkan lagi sampel kulitnya.
Mengujinya adalah sebuah hal yang menantang, mengingat konsentrasi virus corona yang ada akan terlalu rendah untuk bisa dideteksi oleh kit polymerase chain reaction (PCR) biasa.
Sebagai alternatif, tim peneliti Italia memakai metode lainnya yang dikenal sebagai RNA FISH. Caranya ialah dengan melepaskan molekul fluorescent yang bisa menempel secara spesifik kepada gen virus corona dan cukup sensitif untuk mendeteksi keberadaan satu salinan virus.
Begitu mengintipnya dengan mikroskop, peneliti melihat adanya pertanda yang "jernih dan kuat" akan keberadaan virus. Untuk memastikan temuannya, mereka memaparkan jaringan kulit itu dengan pewarna kimia yang berubah warna saat terkena protein unik yang membentuk inti SARS-CoV-2. Hasilnya lagi-lagi positif.
Dua temuan yang saling menguatkan itu tak menyisakan banyak ruang untuk keraguan. Akan tetapi, Gianotti ingin mendapatkan kepastian sehingga tim kemudian mengulang eksperimennya dengan sampel kontrol.
Mereka memakai sampel kontrol berupa jaringan yang disimpan sejak 2018 dari orang yang negatif Covid-19. Sampel kontrol lain diambil dari pasien Covid-19 yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU).
Tes putaran kedua ini juga mengonfirmasikan hasil penelitian sebelumnya. Tim Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah tiba di China pada Kamis pekan lalu untuk menyelidiki asal mula pandemi.
Kabarnya, WHO juga telah mendengar adanya bukti bahwa SARS-CoV-2 kemungkinan muncul di negara lain sebelum teridentifikasi di China. WHO tengah memeriksa penelitian tersebut sebagaimana yang dilaporkan.
Penelitian sebelumnya di Italia memperlihatkan adanya seorang anak laki-laki yang jatuh sakit pada November 2019 memiliki genom virus yang genetiknya 100 persen identik dengan virus yang belakangan diisolasi di Wuhan dan genom lain yang beredar.
Sampel darah lebih dari 100 partisipan dalam program skrining kanker paru Italia pada September 2019 juga menunjukkan adanya kandungan antibodi yang mengikat secara spesifik pada SARS-CoV-2.
Pasien-pasien tersebut entah tak memiliki gejala atau salah didiagnosis dengan penyakit lain, seperti campak. Seorang peneliti di Centre for Life Sciences, Peking University, mengatakan, tes PCR komersial kemungkinan tak bisa mendeteksi virus pada sampel kulit.
Akan tetapi, beberapa laboratorium telah mengembangkan versi yang lebih canggih yang cuma membutuhkan lebih sedikit sampel virus.
"Kalau hasil PCR dan FISH keduanya positif, maka itu adalah bukti yang solid," tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: