Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Setelah Muhammadiyah, Giliran PBNU yang Tolak Rencana PPN Pendidikan

        Setelah Muhammadiyah, Giliran PBNU yang Tolak Rencana PPN Pendidikan Kredit Foto: Instagram Sri Mulyani
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pemerintah berencana akan memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada jasa pendidikan sebagaimana tertuang dalam draf Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

        Kebijakan ini ditentang sejumlah kalangan ormas keagamaan berbasis umat Islam. Setelah Muhammadiyah yang melawan kebijakan itu dan meminta pemerintah membatalkannya.

        Kini giliran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menolak rencana beleid tersebut. Melalui Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini menilai pajak pendidikan tersebut bertentangan dengan spirit UUD 1945.

        "Dalam pandangan kami, inisiatif pemerintah dalam hal upaya meningkatkan pajak namun melalui cara peningkatan PPN pendidikan dan sembako adalah tindakan yang tidak tepat, dan sebaiknya usulan ini dapat dicarikan formula lain yang lebih memungkinkan dan bijaksana," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Jum'at (11/6). 

        "Maka, janganlah kebijakan pemerintah nantinya justru akan menjauhkan dari spirit dan cita-cita luhur sebagaimana tertuang dalam UUD 1945," imbuhnya. 

        Maka, menurut dia, negara sebagaimana spirit dalam UUD 1945 harus melakukan ikhtiar-ikhtiar nyata melalui kebijakan yang berpihak kepada rakyat.

        "Sebagai salah satu amanat luhur, Sudah semestinya pendidikan harus diselenggrakan dengan watak insklusif. Siapapun memiliki hak untuk dapat mengakses pendidikan. Maka, harapan bagi terwujudnya education for all adalah suatu keniscayaan," ucapnya. 

        Dia pun mengingatkan memerintah untuk lebih hati-hati dalam merumuskan kebijakan. Karena, menurut dia, rencana diberlakukannya Pajak Penambahan Nilai (PPN) termasuk dalam ketegori yang memiliki dampak langsung pada masyarakat luas. 

        "Sebagai dasar pengambilan keputusan pemerintah harus berpijak pada filosofi bahwa setiap kebijakannya berbasis pada kemaslahatan rakyat. Dalam kaidah fikih disebutkan tashorruful Imam ala raiyyah manthun bil maslahah, kebijakan seorang leader harus didasarkan pada kemaslahatan bagi rakyat," kata Helmy.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: