Menjawab permasalahan ketimpangan SDM di Indonesia adalah pengembangan SDM, bukan perekrutan SDM.
Hal tersebut juga memerlukan sudut pandang baru dari organisasi terhadap SDM mereka, bahwa kinerja karyawan atau seseorang bukanlah sebuah konsep individu, melainkan suatu konsep yang terjadi dalam konteks kehadiran orang lain.
SDM merupakan komoditas global yang paling bernilai saat ini. Namun seiring waktu, semakin sulit bagi para pemimpin bisnis dan CEO untuk menemukan SDM yang tepat untuk mendorong pertumbuhan dan laba.
Berdasarkan penelitian oleh ManpowerGroup, ketimpangan SDM global telah meningkat dua kali lipat dalam satu dekade terakhir. Lebih dari separuh pelaku bisnis global yang disurvey menyatakan adanya kekurangan keterampilan, sementara 36 dari 44 negara juga melaporkan mereka menghadapi tantangan yang lebih besar dalam menarik SDM dibandingkan 5 tahun yang lalu.
Peralihan demografis dan kemunculan generasi milenial di angkatan kerja telah memaksa para manager HRD dan pemimpin perusahaan teratas untuk memikirkan ulang tentang paket kompensasi mereka dan mengenalkan jam kerja fleksibel yang bahkan ditawarkan kepada mereka para fresh graduate.
Perusahaan Indonesia juga tidak jauh berbeda karena tantangan yang sama yang saat ini mereka hadapi. Lebih dari separuh perusahaan di Indonesia kesulitan menarik dan mempekerjakan kandidat yang tepat untuk membantu mereka mengembangkan bisnisnya. Meski faktanya, Indonesia memiliki jumlah angkatan kerja produktif sekitar 2 juta orang setiap tahunnya yang memasuki pasar.
Kekurangan SDM ini sangat tinggi terutama di sektor teknologi yang berkembang pesat, Menurut Kemendikbudristek, Indonesia kekurangan 9 juta pekerja teknologi hingga tahun 2030 mendatang, yang artinya Indonesia memerlukan sekitar 600.000 SDM digital yang memasuki pasar setiap tahunnya.
World Bank telah menaikkan Indonesia ke kelas “upper-middle income country” tahun lalu, dimana tercatat ada 52 juta atau 1 dari 5 orang Indonesia merupakan kelas menengah.
Para kelas menengah inilah yang akan membentuk pertumbuhan ekonomi yang sustainable selama tiga dekade ke depan. Akan tetapi, perusahaan harus mulai mengembangkan SDM sekarang demi memenuhi kebutuhan SDM untuk menangkap berbagai peluang yang muncul.
Perburuan SDM, menurut Burak Oc, Associate Professor of Organizational Behavior and Human Resources di Melbourne Business School (MBS), tidak hanya terjadi di Indonesia. Lahir di Turki dan hidup dan bekerja di berbagai negara termasuk juga di Eropa dan Asia sebelum akhirnya berpindah ke Australia, menempatkan Burak di posisi terdepan dalam memahami bagaimana SDM berperilaku dan berkembang di dalam sebuah organisasi.
“Perusahaan di manapun di dunia menghadapi masalah yang sama,” kata Dr. Oc.
Menghabiskan waktu bertahun–tahun untuk meneliti dan mempelajari topik tersebut, Dr. Oc mengatakan bahwa perusahaan–perusahaan fokus pada solusi yang salah saat menjawab permasalahan mereka. Masalahnya bukan merekrut ataupun mempertahankan SDM, melainkan mengembangkan SDM.
“Tantangan pola pikir terberat para eksekutif senior adalah bertanya terhadap diri mereka sendiri, apakah mereka dapat mengembangkan SDM mereka di dalam organisasi mereka?” jelas Dr. Oc.
Artinya, daripada mencari atau mempekerjakan seseorang dengan kepribadian atau keterampilan tertentu, perusahaan–perusahaan seharusnya mencari para kandidat yang sesuai dengan pekerjaan dan juga organisasinya.
“Pertanyaan bagi para manager HRD adalah apakah mereka benar – benar memahami posisi apa yang membutuhkan SDM lalu kemudian mencari individu yang akan memberikan pekerjaan dan aspek sosial paling sesuai. Pastinya, tidak pernah ada definisi tunggal tentang apa itu SDM,” kata Dr. Oc.
Ditambah, pekerjaan dan kinerja seseorang tidak berdasarkan keterampilan semata, namun berdasarkan perilaku–perilaku kinerja yang dipengaruhi oleh serangkaian faktor. Apa yang mendorong perilaku dalam konteks sebuah organisasi? Pertanyaan ini penting karena seseorang tidak bekerja sendiri di sebuah organisasi dan perilakunya dapat dipengaruhi tidak hanya oleh oleh siapa dia, namun juga oleh hal lain seperti pekerjaan itu sendiri, dan cara organisasi didesain.
Akan tetapi menariknya, pada 55% organisasi, penghargaan atas kinerja terbaik masih diberikan berdasarkan kinerja individu dan hanya 28% dari mereka mempertimbangkan dampak kontekstual dari kinerja individu (Deloitte Human Capital Trends, 2019).
“SDM bukanlah konsep individu, tapi bisa jadi konsep kelompok,” kata Dr. Oc.
Menurutnya, seseorang sangat jarang bekerja sendiri, sehingga organisasi perlu berpikir bagaimana cara mendukung karyawan mereka sebaik mungkin sehingga mereka dapat bersinar. Tidak ada posisi seorang pun yang seharusnya dianggap lebih penting dari lainnya. Untuk itu, pertanyaan utama untuk perusahaan adalah bagaimana mereka bisa menciptakan SDM dari setiap individu yang bekerja untuk mereka.
Perusahaan terbaik memahami bahwa SDM mereka adalah satu-satunya produk mereka. Ini tentunya memaksa mereka untuk menginvestasikan lebih banyak waktu dan upaya untuk mengelola kinerja masing – masing individu namun hanya 15% dari perusahaan yang percaya bahwa proses pengelolaan kinerja mereka saat ini ‘layak dilakukan’ (Deloitte Human Capital Trends, 2019).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: