Salut, Wanita Afghanistan Diam-diam Manfaatkan Internet untuk Belajar
Zainab Muhammadi (25 tahun) adalah salah satu dari ratusan anak perempuan yang dilarang pergi ke sekolah sejak Taliban kembali menguasai Afghanistan. Pada September, Taliban hanya mengizinkan akses pendidikan bagi anak usia sekolah dasar dan anak laki-laki usia sekolah menengah.
Sejak larangan itu berlaku, Muhammadi terkurung di rumahnya di wilayah Herat, Afghanistan. Dia mengenang momen ketika berkumpul dengan teman-temannya di kafetaria setelah kelas coding. Muhammadi merupakan siswa Code to Inspire (CTI), yang merupakan akademi pengkodean wanita pertama di Afghanistan.
Baca Juga: Dana Rp426 Miliar Dikucurkan, China Juga Bujuk-bujuk IMF Kembali Danai Afghanistan
Meski ada larangan pergi ke kampus, tak menghentikan langkah Muhammadi dan teman-temannya untuk tetap belajar. Mereka belajar melalui kelas daring yang digelar secara diam-diam. Muhammadi mengatakan, dia menjalani kelas daring dengan rasa was-was dan takut jika suatu hari nanti diketahui oleh Taliban.
“Ada ancaman dan bahaya bagi gadis-gadis seperti saya. Jika Taliban mengetahuinya, mereka mungkin akan menghukum saya dengan keras. Mereka bahkan mungkin akan melempari saya dengan batu sampai mati,” kata Muhammadi, yang meminta menggunakan nama samaran untuk melindungi identitasnya.
“Tapi saya tidak kehilangan harapan atau aspirasi. Saya bertekad untuk terus belajar,” kata Muhammadi kepada Thomson Reuters Foundation melalui panggilan video.
Muhammadi adalah salah satu dari ratusan perempuan Afghanistan yang terus belajar, meski harus dilakukan secara daring dan tersembunyi.
CEO dan pendiri CTI, Fereshteh Forough menciptakan ruang kelas virtual terenkripsi, dan mengunggah materi pembelajaran secara daring.
Selain itu, dia juga memberikan laptop dan paket internet kepada sekitar 100 muridnya, termasuk Muhammadi. CTI memiliki berbagai macam program pembelajaran, mulai dari bahasa Inggris, desain grafis, dan pengembangan aplikasi seluler.
“Anda dapat terkunci di rumah (dan) menjelajahi dunia maya tanpa ragu-ragu, tanpa khawatir tentang batas-batas geografis. Itulah indahnya teknologi,” ujar Forough.
Taliban melarang anak perempuan mengenyam pendidikan, ketika mereka menguasai Afghanistan sekitar 20 tahun lalu. Setelah Taliban digulingkan pada 2001, jumlah partisipasi murid di sekolah meningkat pesat. Menurut UNICEF, lebih dari 3,6 juta anak perempuan terdaftar di sekolah pada 2018.
Selain itu, jumlah yang melanjutkan ke perguruan tinggi juga melonjak yakni mencapai puluhan ribu. Hampir enam persen perempuan Afghanistan mengakses pendidikan tinggi pada 2020. Jumlah tersebut naik dari 1,8 persen pada 2011.
Meskipun demikian, Afghanistan memiliki salah satu kesenjangan gender pendidikan terbesar di dunia. UNICEF mengatakan, anak perempuan menyumbang 60 persen dari 3,7 juta anak Afghanistan yang putus sekolah.
Kegagalan untuk mengizinkan anak perempuan mengenyam pendidikan telah menanggung biaya besar, termasuk kemiskinan, pernikahan anak, melahirkan anak dini, dan kurangnya pemahaman tentang hak dan kemampuan mereka untuk mengakses layanan dasar.
"Pendidikan memungkinkan mereka untuk menjaga kesehatan, memiliki suara yang lebih kuat dalam keluarga, mencegah kekerasan dalam rumah tangga dan menjadi pencari nafkah. Kami tidak ingin menunggu. Kami ingin melanjutkan misi kami," ujar Forough.
Pakar digital khawatir bahwa kepemimpinan Taliban saat ini tidak dapat mempertahankan pasokan energi, jaringan komunikasi, dan infrastruktur teknologi karena kekurangan anggaran. Konsultan IT yang berbasis di Kabul, Mustafa Soltany, mengatakan, Taliban mungkin mulai mengintai dan menyensor komunikasi. Soltany mengatakan, tentara Taliban telah menggeledah ponsel orang-orang di pos pemeriksaan.
“Taliban kemungkinan besar akan memberlakukan pembatasan ketat, pemantauan, dan bahkan mata-mata di arena digital di mana mereka dapat memburu para pembangkang, serta kritikus,” kata Soltany.
Pendiri kelompok nirlaba LEARN, Pashtana Zalmai Khan Durrani, mengatakan, dia tidak khawatir jika suatu hari nanti Taliban memberlakukan pembatasan komunikasi dan jaringan internet. Dia bekerja dengan perusahaan keuangan dan teknologi Amerika Serikat (AS) untuk meluncurkan internet satelit, agar menghindari pembatasan Taliban.
LEARN adalah kelompok nirlaba yang telah mendaftarkan sekitar 100 anak perempuan di sekolah bawah tanah. Mereka belajar tentang sains, teknologi, teknik dan matematika (STEM) secara daring melalui tablet.
"Saya memiliki basis tertutup. Mereka tidak dapat melakukan apa-apa bahkan jika mereka mencoba untuk memotong akses internet. Kami akan melakukan hal kami sendiri," ujar Durrani, yang bersembunyi di lokasi yang dirahasiakan dari Taliban.
Seperti beberapa siswa di LEARN, Muhammadi dan teman-teman sekelasnya di CTI, telah bekerja dari jarak jauh dengan perusahaan teknologi global dalam pengembangan aplikasi dan desain grafis. Hal ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan bayaran hingga 500 ribu dolar AS per bulan. Uang tersebut dapat memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Ini adalah suatu prestasi yang tidak pernah terpikirkan selama pemerintahan Taliban pada periode sebelumnya.
“Selalu dikatakan bahwa perempuan Afghanistan lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi saya ingin membuktikan bahwa kami kuat. Saya ingin terus belajar dan menginspirasi lebih banyak siswa, dan dikenal sebagai salah satu pembuat kode terbaik di dunia," ujar Muhammadi.
Menteri Pendidikan di bawah kepemimpinan Taliban, Abdul Baqi Haqqani, bulan lalu mengatakan, perempuan akan diizinkan untuk belajar di universitas. Tetapi ruang kelas mereka akan dipisahkan berdasarkan gender. Selain itu, setiap kelas perempuan wajib diampu oleh tenaga pengajar perempuan.
Namun, jika pemisahan ruang kelas tidak memungkinkan, Haqqani mengindikasikan bahwa pengajaran dapat dilakukan melalui streaming atau televisi sirkuit tertutup. Beberapa universitas swasta di Afghanistan telah dibuka kembali, sedangkan universitas negeri tetap ditutup.
Baca Juga: Ketakuan Iran atas Afghanistan Gak Main-main, Inilah Alasannya Mengapa
Seorang mahasiswa psikologi, Aisa berharap dapat menggunakan gelarnya untuk membantu kesehatan mental anak muda Afghanistan. Aisa akan memulai kuliah di bidang ilmu kesehatan di University of the People, yaitu sebuah organisasi berbasis di AS yang menyediakan kursus online untuk siswa di seluruh dunia yang menghadapi hambatan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Universitas menawarkan 1.000 beasiswa kepada wanita Afghanistan yang tidak bisa lagi mengakses pendidikan.
“Tanpa beasiswa ini saya tidak punya kesempatan, dan masa depan saya hancur. Ini kesempatan terakhir saya untuk mendapatkan gelar. Lebih aman bagi wanita sepertiku untuk belajar di bawah tanah," kata Aisa, yang namanya diubah untuk melindungi identitasnya.
University of the People mengatakan, mahasiswa hanya membutuhkan smartphone atau tablet untuk mengambil salah satu dari empat program yaitu bisnis, pendidikan, ilmu komputer, dan ilmu kesehatan. “Para wanita ini tidak memiliki alternatif selain pendidikan secara daring. Sebagian besar tidak bisa keluar negeri. Kami mencoba memberi mereka harapan,” kata Presiden University of the People, Shai Reshef.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: