Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengaku tak bisa mengubah besaran Upah Minum Provinsi (UMP) 2022 secara sepihak, sebagaimana dituntut kelompok buruh. Sebab, penentuan UMP diatur lewat kebijakan pemerintah pusat.
Kebijakan itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan. "Ya dong (kami terhalang PP 36). Jadi, atas dasar itu kami akan mencari solusi yang terbaik," kata Ariza kepada wartawan di Jakarta, Jumat (26/11), malam.
Ariza menjelaskan, regulasi penetapan UMP itu berasal dari pemerintah pusat. Regulasi utamanya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) dan aturan turunannya PP 36. Di dalam produk hukum tersebut terdapat formula penentuan UMP.
Baca Juga: Warga Jakarta Catat! Anies Baswedan Bawa Kabar Gembira Bagi Pekerja yang Tidak Puas dengan UMP 2022
"Penentuan UMP itu sudah ada formula dan rumusannya, bukan kami yang menyusun. Kami hanya memasukkan angkanya, inflasi dan sebagainya," kata Ariza.
Kendati demikian, Ariza mengaku akan berupaya mencarikan solusi atas persoalan ini. Solusi itu akan mempertimbangkan kepentingan pengusaha dan buruh, serta kepentingan pemerintah dan seluruh warga.
Sebelumnya, Jumat (27/11) sore, Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSPI) menuntut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut atau merevisi SK penetapan UMP DKI 2022. KSPI juga menuntut kenaikan UMP 2022 menjadi 5 persen, yang kini hanya naik 0,85 persen.
Jika tuntutan itu tak digubris dalam tempo 3 x 24 jam, maka KSPI bersama 5-10 ribu buruh akan menggelar demonstrasi di Balai Kota DKI Jakarta. Jika tetap tidak digubris, demo akan terus berlanjut.
Baca Juga: UMP Naik Tipis, Orang PKS Sebut Efek dari Undang-Undang Cipta Kerja
Tuntutan KSPI ini dilayangkan usai Mahkamah Konstitusi memutuskan Undang-Undang Omnibus Law itu inkonstitusional bersyarat. Hakim MK menyebut, proses pembentukan UU sapu jagat itu cacat formil alias tak sesuai UUD 1945.
MK memberi tenggat waktu 2 tahun untuk memperbaiki UU tersebut. Apabila tidak diperbaiki, maka UU itu inkonstitusional permanen.
Dalam amar putusan nomor 4, hakim MK menyatakan UU Ciptaker "tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu".
Sedangkan dalam amar putusan nomor 7, hakim MK "menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja".
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: