Kasus Ferdinand Jadi Ujian Slogan Presisi Polri, seusai Habib Bahar Diproses Cepat
Bareskrim Polri pada Kamis (6/1) menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terkait kasus ujaran kebencian yang dilakukan oleh terduga Ferdinand Hutahaean. Kepala Biro Penerangan dan Masyarakat (Karo Penmas) Mabes Polri, Brigadir Jenderal (Brigjen) Ahmad Ramadhan mengatakan, selanjutnya tim penyidik akan memanggil Ferdinand untuk diperiksa.
"Terbitnya SPDP tersebut menandakan, kasus ujaran kebencian tersebut sudah berstatus penyidikan," kata Ramadhan, di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (7/1). "Penyidik Dirtipid Siber Bareskrim Polri juga sudah menyampaikan surat pemanggilan terhadap FH (Ferdinand Hutahaean) untuk diperiksa terkait dugaan perbuatannya," sambung Ramadhan.
Baca Juga: Wasekjen PA 212 Novel Bamukmin: Kalau Tahu Mualaf, Saya Ajak Ferdinand Salat
Penyidik Bareskrim Polri, kata Ramadhan, menjadwalkan pemeriksaan terhadap Ferdinand Hutahaean pada Senin (10/1). Pemeriksaan tersebut sebagai tindak lanjut proses penyidikan yang sudah dimulai sejak kemarin.
Ramadhan menjanjikan, Mabes Polri akan transparan dan profesional dalam penanganan kasus ujaran kebencian tersebut. Sebab selain meresahkan, dugaan perbuatan yang dilakukan oleh Ferdinand Hutahaean memancing keonaran publik.
"Tentu kasus ini akan ditangani secara profesional. Tentunya, kita menunggu apa hasil dari penyidikan ini," terang Ramadhan.
Sementara proses penyidikan yang berjalan, Ramadhan menerangkan, tim penyidik Dirtipid Siber Bareskrim Polri sudah melakukan serangkaian pemeriksaan saksi-saksi. Pada Jumat (7/1), kata dia, tim penyidikan memeriksa 10 orang saksi tambahan.
"Lima yang diperiksa adalah saksi dan lima lainnya diperiksa sebagai saksi ahli," ujar Ramadhan. Total para saksi terperiksa sejak Kamis (6/1), kata dia, sudah berjumlah 15 orang.
Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, menyatakan bahwa kasus yang menjerat Ferdinand Hutahaean merupakan salah satu kasus di antara yang menjadi ujian slogan 'Presisi' Polri. Dalam hal penindakan internal, Kapolri memang diacungi jempol tegas ke oknum kepolisian, tetapi sayangnya di beberapa kasus seperti ujaran kebencian, slogan Presisi tersebut belum dipraktikkan.
"Slogannya tepat, praktiknya belum," kata Chairul kepada wartawan, Jumat (7/1).
Dalam beberapa bulan ketika baru menjabat, Kapolri Sigit memang menunjukkan bagaimana penindakan dan sanksi kepada seluruh oknum Polri yang melanggar tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini, menurut dia, bahkan mendapat apresiasi luar biasa di mata publik sehingga memunculkan harapan polri mulai berbenah, menerapkan hukum yang berlaku sama untuk semua.
Namun dalam perjalanan, untuk kasus ujaran kebencian, Polri seakan mendapatkan ujian yang nyata. Chairul membandingkan bagaimana Polda Jawa Barat bertindak tegas terhadap Habib Bahar bin Smith, tindakan itu juga yang kini diharapkan sebagian publik di kasus Ferdinand.
Sebagai warga yang taat hukum, ia sepakat, tindakan ujaran kebencian baik yang dituduhkan kepada Habib Bahar tidak boleh dilakukan. Namun, tentu begitu juga ujaran kebencian oleh Ferdinand kepada segolongan agama tertentu.
Sebelumnya, kuasa hukum Bahar bin Smith, Ichwan Tuankotta, menyoroti penetapan tersangka dan penahanan dalam kasus dugaan ujaran kebencian yang menurutnya secepat kilat. Ia membandingkan kasus serupa yang masih mangkrak.
Diketahui, Bahar Smith ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polda Jawa Barat, Senin (3/1) malam WIB. "Matilah keadilan dan demokrasi di negara kita. Habib Bahar kooperatif, baru pemeriksaan saksi langsung ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan," ujar Ichwan saat dikonfirmasi, Selasa (4/1).
Ichwan menilai, penetapan teraangka Bahar Smith dianggap terlalu cepat. Mengingat proses penetapan dan penahanan Bahar Smith hanya berselang sepekan dari surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).
"Proses itu tidak lama dari SPDP Selasa, minggu lalu, kemudian Kamis panggilan sampai Senin kemarin penahanan. Artinya secapat kilat dalam waktu tujuh hari beliau sudah ditahan," kata Ichwan.
Berbicara terpisah, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas meminta semua pihak untuk menghormati proses hukum pada kasus bernuansa SARA yang melibatkan Ferdinand Hutahaean. Menag mengajak masyarakat untuk tidak buru-buru menghakimi Ferdinand, apalagi tanpa didasari informasi yang komprehensif.
"Saya mengajak masyarakat untuk tidak buru-buru menghakimi Ferdinand. Kita tidak tahu apa niat sebenarnya Ferdinand mem-posting tentang 'Allahmu Ternyata Lemah' itu. Untuk itu, tunggu sampai proses hukum ini tuntas sehingga masalah menjadi jelas," kata Menag dalam pesan tertulis yang diterima Republika, Jumat (7/1).
Baca Juga: Bareskrim Polri Siap Periksa Ferdinand Hutahaean Senin Depan
Menurut Menag, sangat mungkin karena Ferdinand mualaf, dia belum memahami agama Islam secara mendalam, termasuk dalam hal akidah. Jika ini benar, Ferdinand membutuhkan bimbingan keagamaan, bukan cacian. Untuk itu, klarifikasi atau tabayyun pada kasus ini adalah hal yang mutlak.
Menag berharap kasus yang sudah ditangani kepolisian bisa berjalan transparan dan segera tuntas dengan menghasilkan putusan yang seadil-adilnya. Terkait kasus ini, Menag meminta masyarakat Indonesia untuk tetap tenang dan mengakhiri polemik ini di media sosial.
"Mari gunakan media sosial dengan menyebarkan konten-konten yang santun, termasuk soal agama sehingga kerukunan beragama akan makin kokoh dan kuat," jelasnya.
Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Luqman Hakim berharap Polri bertindak tegas memproses kasus hukum cuitan yang disampaikan Ferdinand Hutahaean. Karena menurutnya, cuitan itu berpotensi menimbulkan permusuhan bernuansa agama.
"Cuitan Ferdinand itu dapat dikategorikan sebagai serangan penghinaan dan penistaan terhadap agama tertentu, berpotensi menimbulkan keonaran dan permusuhan bernuansa agama, serta mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat," kata Luqman di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, cuitan Ferdinand yang menyebutkan "Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela..." tidak sama dengan kalimat yang disampaikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah mengatakan "Tuhan Tidak Perlu Dibela". Luqman menilai, Gus Dur sama sekali tidak menghakimi bahwa Tuhan yang diyakini seseorang keadaannya lemah lalu harus dibela, justru menegaskan Tuhan tidak perlu dibela karena Tuhan Mahakuat dan Mahakuasa.
"Sangat jauh berbeda antara cuitan Ferdinand dengan perkataan Gus Dur. Karena itu, jangan disamakan antarkeduanya," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum