Indonesia mencapai kesepakatan dengan Singapura terkait pengambilalihan Pelayanan Ruang Udara atau Flight Information Region (FIR) Singapura yang meliputi Kepulauan Riau, Tanjungpinang dan Natura. Dengan kesepakatan ini nantinya pesawat TNI akan bebas melintasi kawasan tersebut tanpa melapor ke Singapura.
Kesepakatan tersebut merupakan keberhasilan pemerintah yang patut di acungi jempol. Namun demikian, kebehasilan tersebut menimbulkan pro kontra, karena FIR dianggap tidak familiar di kalangam masyarakat. Bahkan dianggap syarat kepentingan politik Joko Widodo selaku presiden.
Merespon pro kontra itu, Ali Mochtar Ngabalin, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan, masalah FIR tersebut telah berlangsung berlarut-larut. Tepatnya sejak tahun 1946, kawasan tersebut dikuasai oleh Singapura, karena sidang International Civil Aviation Organization (ICAO) di tahun 1946.
Itu karena Indonesia baru merdeka tahun 1945, dan sidang di laksanakan pada tahun 1946, memutuskan pengelolaan kawasan ruang udara yang memberikan informasi penerbangan saat itu agar repot bagi Indonesia. Karena itu ICAO mendelegasikan ke pemerintah jajahan Inggris yang saat itu ada di Singapura.
Dijelaskan oleh Ngabali, kenapa sampai 72 tahun dikuasai oleh Singapura, karena ada beberapa alasan, pertama masalah teknologi, dan kedua faktor Sumber Daya Manusia. Di samping dari pemerintah ke pemerintahan yang belum ada kesempatan untuk mengambilnya.
“Ini juga menyangkut keberanian pemimpin negara, siapapun presidennya. Bahwa flight information region ini berlarut-larut, lama banget, diurus ribut, tidak diurus ribut juga,” ungkap Ngabalin, seperti dikutip dari konten YouTube Padasuka TV, yang tayang Senin (7/2/2022).
Karena itulah mengapa Jokowi harus memulai, harus ada joint partnert, joint statement, atau kesepakatan melalui pertemuan bilateral. Selanjutnya ratifikasinya ada dua kemungkinan, pertama untuk kepentingan merevisi undang-undang, atau ratifikasi untuk membuat aturan implementasi.
“Kenapa ratifikasi karena kita banyak berurusan dengan banyak urusan hukum internasional dan berurusan dengan negara asing,” imbuh Ngabalin.
Namun demikian Ngabalin juga mengungkapkan ada beberapa keuntungan FIR tersebut kini dikelola oleh RI. Pertama, dari sisi politik bernegara, terpublikasi, Jokowi telah mulai perundingan, untuk melakukan penyesuaian, pengaturan kembali terhadap flight information region (FIR). Tidak perlu lagi melapor ke Singapura, kedaulatan sudah ada.
“Memastikan Indonesia tidak lagi izin ke Singapura. Kedua, Singapura yang menyetor ke Indonesia,” ujar Ngabalin.
Ngabalin juga menegaskan, keputusan yang diambil Presiden Joko Widodo, tidak lagi untuk kepentingan politiknya. Karena sudah selesai 2024. Kedua tidak ada lagi untuk kepentingan kelompok dan lain-lain, tapi untuk kepentingan bangsa dan negara. Dan yang paling terpenting, bahwa flight information region ini bukan urusan gampang.
Tapi pemimpin harus siap dengan segara resiko, karena itulah Presiden Joko Widodo harus mengambil langkah, melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Singapura, untuk kepentingan masalah yang berlarut-larut, sekaligus menjadi pelajaran kepada semua dan generasi yang akan datang bawa menjadi pemimpin harus berani.
Untuk diketahui, mengacu Peraturan Menteri Perhubungan (Menhub) Nomor 55 Tahun 2016 tentang Tatanan Navigasi Penerbangan Internasional, Flight Information Region atau FIR adalah suatu daerah dengan dimensi tertentu di mana pelayanan informasi penerbangan (flight information service) dan pelayanan kesiagaan (alerting service) diberikan.
Sejak tahun 1946, sebagian FIR wilayah Barat Indonesia berada di bawah pengelolaan FIR Singapura, yakni meliputi Kepulauan Riau, Tanjungpinang, dan Natuna. Kondisi ini membuat pesawat Indonesia harus melapor ke otoritas Singapura jika ingin melewati wilayah tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: