Kekerasan Seksual Anak Meningkat, Bagaimana Kelanjutan RUU TPKS sebagai Payung Hukum Bagi Korbannya?
Kasus kekerasan seksual semakin marak dan semakin memprihatinkan. Mayoritas kekerasan seksual dialami oleh perempuan dan anak-anak. Pelakunya juga dari berbagai kalangan. Mirisnya lagi, kekerasan seksual seringkali terjadi di tempat menimba ilmu seperti sekolah, kampus dan pondok pesantren.
Tahun 2021 banyak terdapat kasus kekerasan seksual yang menyulut kemarahan publik misalnya kasus 13 santriwati menjadi korban pemerkosaan oleh Herry Wirawan. Ia merupakan pengasuh yang juga guru salah satu pesantren di Kota Bandung, Jawa Barat.
Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) sepanjang tahun 2021 ada 8.730 anak yang menjadi korban kekerasa seksual.
Baca Juga: Menteri PPPA Desak Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Tidak Dapat Ditunda Lagi
Berdasarkan data KemenPPPA, jumlah anak korban kekerasan seksual sepanjang tahun 2019 hingga 2021 mengalami peningkatan. Pada tahun 2019, jumlah anak korban kekerasan seksual mencapai 6.454, kemudian meningkat menjadi 6.980 di tahun 2020. Selanjutnya dari tahun 2020 ke tahun 2021 terjadi peningkatan sebesar 25,07 persen.
Didesak untuk Segera Disahkan
Atas kenaikan kasus kekerasan seksual ini banyak pihak yang mendorong Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) untuk segera dapat disahkan. RUU TPKS akan menjamin keamanan tumbuh kembang anak dari kejahatan seksual. Pasalnya dilihat dari isi RUUnya dimana pencegahan sudah dilakukan dari keluarga, lingkungan, sekolah, hingga area publik.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya sempat mengungkapkan RUU TPKS bisa menjadi payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual,
Dijelaskan Willy, RUU TPKS dibutuhkan dalam 2 ranah. Pertama bagaimana korban mendapat keadilan dan perlindungan agar aparat penegak hukum, khususnya polisi dan jaksa punya legal standing dalam melakukan penindakan.
Willy mengatakan, banyak korban kekerasan seksual tidak melapor karena dalam realisasinya, seksualitas masih dianggap sebagai aib atau hal yang tabu.
"Masih banyak korban yang tidak berani speak up, karena masyarakat secara sosiologis masih menganggap seksualitas itu suatu hal yang tabu, suatu hal yang saru, suatu hal yang sifatnya cenderung aib. Tidak ada tempat bagi mereka dalam mencari keadilan,” tutur dalam keterangan tertulisnya dikutip dari dpr.go.id Sabtu (5/3/2022).
Ranah kedua yang perlu diatur lewat RUU TPKS ini adalah soal memisahkan antara urusan publik dan urusan privat. Bagaimana kebebasan seksual, penyimpangan seksual dan kekerasan seksual dapat diatur melalui regulasi.
“Memisahkan di mana res publica (urusan publik) dan res privata (urusan privat). Kita ingin atur res publica-nya. Hanya kebetulan objeknya seksuliatas. Ini yang sering menjadi perdebatan di Panja,” terang Willy.
Sementara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga terus desak , pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Ia menegaskan, RUU TPKS tidak dapat ditunda lagi. Sebab, secara dasar penyusunan, RUU TPKS telah memenuhi syarat filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
RUU TPKS yang sebelumnya merupakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah melewati proses yang sulit dan panjang sejak 2016.
Setelah disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR pada 18 Januari 2022, Bintang menegaskan, pemerintah sangat serius dalam menyikapi RUU yang disiapkan oleh DPR RI tersebut.
“Kami, tim pemerintah, bekerja siang malam, bahkan di hari libur sehingga tiada hari tanpa membahas RUU TPKS. Kami tidak ingin rancangan ini nantinya hanya menjadi sebuah dokumen semata karena korban telah dalam penantian panjang,” ujar Menteri PPPA Bintang Puspayoga di Jakarta dalam keterangan tertulisnya pada Minggu (20/2/2022).
RUU TPKS Inisiasi Komnas Pemerempuan
RUU TPKS memang sudah terkatung-katung lama. Dahulu, RUU ini bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Komnas Perempuan menginisiasi pembentukan peraturan perundangan yang memayungi masalah kekerasan seksual sejak tahun 2012. Sebabnya, Indonesia dalam kondisi darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Saat itu, Komnas Perempuan menginginkan adanya sebuah peraturan bernama Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Namun, empat tahun kemudian tepatnya pada Mei 2016, gagasan Komnas Perempuan itu baru dapat dibahas di DPR.
Sementara itu, pemerintah juga menyuarakan keseriusannya untuk mengesahkan RUU PKS pada tahun tersebut. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang hingga kini masih menjabat posisi tersebut sempat menjanjikan RUU disahkan pada 2016.
RUU TPKS yang sebelumnya bernama RUU PKS itu juga kerap kali keluar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR. Berdasarkan pantauan Warta Ekonomi, maju mundurnya RUU itu di Prolegnas tercatat terjadi sejak 2016.
Pada tahun 2021, RUU PKS kembali masuk dalam Prolegnas Prioritas. Namun, September 2021, RUU PKS berubah namanya menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Dalam proses penyusunan RUU TPKS, tujuh fraksi menyatakan menyetujui RUU TPKS.
Masuk Prolegnas Prioritas 2022
Oleh karena belum tuntasnya pembahasan antara pemerintah dan DPR, RUU TPKS akhirnya kembali masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022. Baleg menetapkan RUU TPKS bersama dengan 39 RUU lainnya untuk masuk dalam Prioritas 2022. Hal itu ditetapkan pada Senin (6/12/2021).
Pada 18 Januari 2022, angin segar nampak menghinggapi langkah RUU TPKS ke depan. Hal ini lantaran DPR kembali mengesahkan RUU TPKS menjadi usul inisiatifnya. Pengesahan RUU TPKS sebagai RUU usulan DPR itu dilakukan dalam rapat paripurna yang dipimpin langsung oleh Ketua DPR Puan Maharani.
Namun, baru satu bulan berselang setelah mendapat pengesahan sebagai usul inisiatif, RUU TPKS justru kembali mengalami hambatan. Hambatan itu diketahui setelah raker antara pemerintah dan DPR gagal dilaksanakan pada Rabu (23/2/2022).
Dalam raker tersebut DPR melalui Baleg dan pemerintah diagendakan pembahasan RUU TPKS. Hal ini sudah ditegaskan oleh pengumuman Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, Selasa (22/2/2022).
Namun Baleg mengumumkan bahwa raker tersebut akhirnya ditunda. Alasan utamanya adalah belum ada putusan pimpinan DPR mengenai agenda raker hari itu.
Dorongan Penggunaan UU Perlindungan Anak
KemenPPPA berupaya menekan angka kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan mendorong penggunaan UU Perlinduan Anak dalam menangani kasus kekerasan seksual sebelum disahkannya UU TPKS.
“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) selalu melakukan koordinasi intens apabila terdapat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual. Kami selalu membuka komunikasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan Dinas PPPA yang biasanya sudah terhubung dengan APH di daerah. Melalui koordinasi tersebut, kami mendiskusikan hal-hal yang perlu diwaspadai di proses peradilan tingkat pertama. Dalam hal ini, pasal yang digunakan sejak proses penyidikan sudah harus tepat,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar, dalam Media Talk dengan tema ‘Ancaman Pidana Pelaku kekerasan Seksual dan Hak Korban’ secara virtual, Jumat (4/3/2022).
Nahar mengatakan, rujukan utama dalam mengeksekusi kejahatan kekerasan seksual pada anak di Indonesia adalah Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi UU.
“Dalam UU tersebut, ancaman pidana yang paling tinggi adalah pidana mati apabila kasus masuk ke dalam kategori persetubuhan dan korbannya lebih dari satu orang. Di samping itu, ada pemberatan sepertiga hukuman untuk kasus-kasus tertentu, misalnya kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti orangtua, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, pengasuh, dan wali,” ungkap Nahar.
Di samping penetapan hukuman pidana maksimal dan hukuman tambahan terhadap pelaku, Nahar menegaskan korban memiliki hak untuk menerima ganti rugi atau restitusi.
“Jangan sampai pidana pokoknya dilaksanakan, tetapi dendanya tidak dibayar dan digantikan dengan melaksanakan subsider. Saya pikir persoalannya belum selesai karena ada korban akibat kejadian kekerasan seksual tersebut. Maka, kita harus mengantisipasi jangan sampai kejadian ini berdampak kepada tumbuhnya kejahatan baru akibat ketidaksempurnaan kita dalam memperhatikan kewajiban pelaku dan kepentingan korban,” tutur Nahar.
Nahar menyebutkan, KemenPPPA telah melakukan berbagai strategi untuk menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, mulai dari langkah pencegahan, penanganan, hingga penguatan kelembagaan. “Strategi inilah yang tidak pernah berhenti kita lakukan,
Salah satu upaya pencegahan yang dilakukan adalah membangun sistem Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), misal kasus kekerasan seksual oleh seorang ayah terhadap anaknya di Depok Jawa Barat. Kabupaten/kota yang belum mendapat penghargaan dengan yang sudah menerima penghargaan, akan memiliki cara yang berbeda ketika menghadapi kasus seperti ini. Bahkan bisa jadi kabupaten/kota yang belum memiliki status KLA, penanganannya akan lebih lambat,” jelas Nahar.
Lebih lanjut, Nahar menuturkan, KemenPPPA juga memiliki layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 yang dapat dihubungi oleh masyarakat melalui Call Center 129 maupun Whatsapp 08111-129-129 sebagai langkah penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Selain itu, terdapat UPTD PPA di 33 provinsi dan unit layanan lainnya. “Ke depan, penanganan UPTD PPA akan terpadu dan terintegrasi dari sisi kesehatan, rehabilitasi sosial, pendampingan hukum, pendampingan psikososial, dan lain sebagainya. Inilah yang terus dibangun pemerintah, khususnya KemenPPPA,” ujar Nahar.
Menurut Nahar, penguatan kelembagaan terkait penanganan kasus kekerasan seksual tidak cukup dengan adanya regulasi ataupun kelengkapan sarana prasarana. Namun, APH juga harus memiliki pemahaman terkait pemenuhan dan perlindungan anak.
“Apabila tidak, kemungkinan pasal yang akan digunakan adalah pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tidak merujuk pasal perlindungan khusus anak. Karena ketika menggunakan standar umum, akan selalu mengacu pada KUHP. Padahal ada beberapa perubahan kebijakan yang sudah memberikan perhatian lebih kepada korban,” tutup Nahar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rena Laila Wuri
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: