Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        APPKSI Desak Jokowi Hapus Pungutan Ekspor CPO, DMO dan DPO

        APPKSI Desak Jokowi Hapus Pungutan Ekspor CPO, DMO dan DPO Kredit Foto: Antara/Akbar Tado
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI), Arief Poyuono mengatakan bahwa pihaknya meminta kepada Presiden Jokowi agar pungutan ekspor CPO yang mencapai 55 persen dari harga Ekspor CPO harus dihapus karena justru membebani petani sawit dan dari pungutan ekspor tidak perlu lagi mensubsidi industri biodiesel karena harga CPO sudah lebih mahal dari Crude Oil ( minyak fosil)

        Arief mengatakan, tata kelola CPO dan turunannya telah meyebabkan nasib kami para petani plasma sawit yang jumlahnya puluhan juta serta stake holder industry sawit makin tidak jelas keberlangsungannya dalam mencari penghidupan dari sektor industry sawit di negara yang menjadi penghasil CPO terbesar didunia Berikut poin poin yang harus Bapak Presiden Ketahui.

        Tak hanya itu, DMO & DPO harus dicabut karena mempersulit ekspor CPO yang mana akhirnya menyebabkan over stock di tangki tangki penimbunan CPO di pabrik pabrik kelapa sawit 

        Arief menjelaskan, semua ini memberatkan kehidupan petani sawit karena pungutan ekspor CPO yang mencapai 55% dan aturan Domestic Market Obligation dan Domestic Price Obligation, setelah ekspor CPO di ijinkan kembali membuat harga Tandan buah segar jatuh hingga 200% dari harga saat sebelum ada pelarangan ekspor CPO

        “Seperti kita ketahui bahwa Indonesia mendominasi produksi lemak dan minyak nabati dunia. Minyak kelapa sawit negara ini menyumbang sekitar 60% dari produksi minyak global, dan komoditas ekspor utama ini menghasilkan pendapatan negara sebesar USD20 miliar pada tahun 2020,” kata Arief dalam keterangan tertulis, Kamis (7/7/2022)

        Sementara itu, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia yaitu GAPKI, produksi lokal minyak sawit mentah (“CPO”) telah berkurang tahun-ke-tahun dari 2020 hingga 2021, bahkan ketika permintaan global terus meningkat.

        Hal ini memastikan kenaikan harga CPO global, yang positif bagi posisi transaksi berjalan Indonesia dan eksportir komoditas. 

        Arief menjelaskan, kenaikan harga CPO saat ini disebabkan banyaknya hambatan yang dihadapi industri antara lain pandemi Covid-19, kekurangan tenaga kerja, musim hujan, banjir.

        ”Tidak tersedianya pasokan pupuk, kekurangan minyak nabati di pasar dunia. Hal ini mengakibatkan kekurangan besar-besaran dalam jumlah TBS dan CPO. Sementara itu, curah hujan yang tinggi menyebabkan kegagalan penyerbukan, OER menurun dan FFA meningkat. Ini semua merupakan tantangan bagi pekebun kecil dan produsen korporat,” bebernya.

        Karena musim hujan, perkebunan menghadapi gulma yang ditumbuhi rumput liar, yang membutuhkan lebih banyak tenaga kerja dan bahan kimia untuk menjaga Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia.

        Situasi tetap terkendali. Selain itu, pohon kelapa sawit tumbuh lebih tinggi dari tahun ke tahun, yang akan membatasi produksi TBS. Pekebun perlu memanfaatkan harga CPO yang tinggi saat ini untuk mengumpulkan dana untuk sanitasi lokasi dan kegiatan penanaman kembali di masa depan. 

        Seanjutnya, Pemerintahan Bapak Jokowi pada 28 April 2022 memberlakukan larangan ekspor minyak sawit mentah dan produk olahannya, yang mengejutkan komunitas global dan dengan cepat menimbulkan reaksi negatif di seluruh dunia. 

        “Malaysia, yang memasok 25% dari produksi global, tidak mampu mengisi celah yang tersisa dari larangan ekspor Indonesia; karena negara itu masih menghadapi kekurangan tenaga kerja yang parah akibat pembatasan pandemi. Rusia dan Ukraina menyumbang 80% dari pasar minyak bunga matahari global, yang sudah merupakan penurunan mendadak dalam pasokan minyak nabati global karena perang yang sedang berlangsung,” ungkapnya.

        Menurut dia, larangan ekspor Indonesia adalah untuk mengurangi kenaikan harga pangan lokal dan untuk memadamkan kerusuhan lokal. Namun, strategi jangka pendek bisa membawa lebih banyak kerugian daripada kebaikan dalam skala yang lebih besar.

        Sebagai permulaan, Indonesia dengan cepat memantapkan dirinya sebagai salah satu pilihan terbaik untuk investasi asing di kawasan Asia Tenggara dan pemindahan ibu kotanya dari Jakarta ke Penajam Paser dan Kutai Kartanegara, telah menarik lebih banyak investasi ke negara ini.

        Pergantian tiba-tiba yang tibatiba untuk keluar dari pasokan global, dengan kebijakan flip-flop, dapat mengalihkan investor ke negara-negara dengan kebijakan yang lebih progresif.

        Selain itu, dalam jangka panjang, produsen Indonesia tidak akan mampu lagi menjalankan bisnis perkebunan secara berkelanjutan. Mereka tidak mampu membeli pupuk dengan biaya lebih tinggi, dan produksi akan turun lebih jauh dalam waktu 6 bulan. 

        “Langkah ini dapat menyebabkan kematian pekebun kecil dan produsen perusahaan. Para produsen ini berkontribusi dalam hal pajak dan kesempatan kerja, selain memastikan pasokan CPO ke pasar tetap.,” ucapnya.

        Zero-sum game akan memungkinkan produsen Malaysia mengambil alih kuota yang sebelumnya diisi oleh produsen Indonesia, sehingga bisa menggeser Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia.

        Juga, dengan melarang komoditas ekspor berpenghasilan tinggi, posisi perdagangan Indonesia akan memburuk dengan cepat. Negara ini tidak lagi dapat memperoleh keuntungan dari arus masuk Forex besar-besaran yang telah dinikmati selama reli harga CPO sejauh ini.

        Kemudian,pada saat yang sama, masih harus membayar USD untuk barang impor yang relatif lebih mahal. Setelah larangan ekspor diumumkan, Rupiah Indonesia telah jatuh ke level terendah delapan bulan. Jelas, dampak dari larangan ekspor CPO itu membawa dampak yang lebih besar, dibandingkan dengan komoditas lain yang pernah dicobanya untuk dibatasi ekspornya di masa lalu. 

        “Saat efek larangan mulai mengakar, harga pangan global kemungkinan akan meningkat lebih jauh. Analisis Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa menemukan bahwa harga pangan global telah naik 12,6% dari Februari 2022 hingga Maret 2022, dan posisinya bahkan lebih tinggi 33,6% jika dibandingkan dari Maret 2021 hingga Maret 2022,” tegasnya.

        Selanjutnya, produksi pangan sangat tinggi. padat energi- dari pupuk hingga transportasi, oleh karena itu harga energi akan meningkat secara bersamaan dan seluruh dunia akan menderita akibat larangan ekspor Indonesia. Yang paling rentan adalah masyarakat miskin karena mereka harus membelanjakan sebagian besar pendapatan mereka untuk makanan, sehingga meniadakan pendapatan mereka yang dapat dibelanjakan. Negara-negara seperti India, Pakistan, Filipina, dan Afrika kemungkinan akan merasakan dampak setelahnya karena impor bersih makanan dan minyak nabati yang relatif tinggi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: