- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Jokowi Ngeluh Subsidi Energi Bengkak, Saran Pengamat: Lakukan Kebijakan yang Komprehensif!
Lonjakan harga bahan baku energi di dunia, termasuk di dalamnya harga minyak dunia, membuat pemerintah kembali menambahkan subsidi energi dengan nominal yang bisa dibilang fantastis.
Sebagaimana diketahui, total subsidi energi yang tadinya hanya Rp152,5 triliun dengan asumsi harga ICP US$63 per barel menjadi Rp443,6 triliun dengan asumsi harga ICP sebesar US$100 per barel. Ditambah lagi pembayaran kompensasi kepada PT PLN dan PT Pertamina untuk tahun sebelumnya, maka total subsidi energi menjadi sekitar Rp502 triliun.
Besarnya beban subsidi tersebut tak ayal membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) merasa pembengkakan subisidi BBM sudah terlalu tinggi.
Baca Juga: Akselerasi Pensiun Dini PLTU secara Bertahap Bakal Dukung Target Pencapaian NZE 2060
Pengamat ekonomi energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai keluhan yang dilakukan oleh presiden sudah beberapa kali dilakukan karena bengkaknya subsidi energi untuk masyarakat.
Fahmy menyebut, kondisi bengkaknya subsidi energi yang terjadi hingga menyentuh angka Rp502 triliun dapat dikatakan sebagai yang terbesar selama sejarah persubsidian di Indonesia.
"Cuman pemerintah itu tidak mengambil kebijakan yang komprehensif sesuai dengan tujuan misalnya pembatasan subsidi, sebenarnya kalau pemerintah mau ada beberapa kebijakan yang secara komprehensif yang harus dilakukan secara stimulus atau secara bersamaan," ujar Fahmy saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (3/8/2022).
Fahmy mengatakan ada tiga kebijakan yang sudah seharusnya dilaksanakan pemerintah untuk dapat menekan besarnya subsidi energi pada 2022. Pertama, adalah kebijakan yang sebenarnya sudah dilakukan oleh PT Pertamina (Persero).
Pertamina sudah menyesuaikan harga BBM non-subsidi khusunya pada kategori Pertamax ke atas. Menurutnya, kebijakan tersebut perlu diambil untuk membiasakan pengguna akan kondisi pasar dunia.
"Saya kira itu kebijakan yang tepat karena Pertamina harus membiasakan konsumen Pertamax ke atas bahwa harga berfluktuasi sesuai dengan harga keekonomian bergantung pada harga minyak dunia, dan juga kebijakan ini tepat karena tidak akan memicu inflasi karena proporsinya hanya 5 persen, tetapi kalau nanti harga minyak dunia turun, maka Pertamina harus seketika menurunkan juga sebagai konsekuensinya," ujarnya.
Kebijakan kedua adalah dengan melakukan pembatasan terhadap konsusmsi BBM bersubsidi dan menetapkan penyaluran yang lebih tepat sasaran.
Maka dari itu, Fahmy menilai inisiatif yang dilakukan oleh Pertamina dengan melakukan pendataan sudah seharusnya dihentikan dan digantikan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden melalui revisi Perpres.
"Mypertamina batalkan saja, buat Perpresnya dengan menyatakan sepeda motor dan kendaraan umum," ungkapnya.
Kebijakan selanjutnya adalah dengan menghapuskan BBM jenis Premium di pasar. Fahmy menilai meskipun sudah dibatasi di luar Jawa, Madura, dan Bali, namun jumlahnya masih cukup besar.
"Impor kontennya cukup besar dan impor subsidinya cukup besar. Kalau dihapus kan mengurangi beban, subsidi akan berkurang, devisa impornya akan berkurang. Pemerintah sudah berulang kali mewacanakan untuk menghapus BBM Premium, tapi sampai sekarang tidak punya nyali untuk menghapus Premium," jelasnya.
Lanjutnya, jika pemerintah tidak hanya mengeluh dan mengambil kebijakan yang komprehensif, maka diperkirakan akan mampu memangkas beban subisidi BBM yang tidaklah sedikit jumlahnya.
"Kalau ketiganya dilakukan secara komprehensif saya yakin penurunan subsidi akan sangat besar dari Rp500 triliun, barangkali tinggal Rp200 triliun," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: